Home Daerah

Transparansi Dirusak, Aturan Diabaikan. Sorotan Tajam ke Cipta Karya

by Media Rajawali - 16 Juli 2025, 00:19 WIB

BOJONEGORO – Sorotan terhadap Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Cipta Karya Kabupaten Bojonegoro semakin tajam, menyusul terbukanya data konsentrasi proyek pengadaan langsung (PL) pada tahun anggaran 2024. Meskipun kini telah memasuki pertengahan Juli 2025, hasil investigasi yang dilakukan oleh awak media mengungkap bahwa satu rekanan lokal yang beralamat di Desa Ngablak, Kecamatan Dander, tercatat mengerjakan sedikitnya 12 paket proyek konstruksi. Seluruh paket tersebut berada pada kisaran nilai yang mendekati ambang batas maksimal pengadaan langsung, yaitu antara Rp190 juta hingga Rp199 juta.

Fenomena ini menimbulkan tanda tanya besar di masyarakat: apakah proses seleksi dan verifikasi penyedia telah dilakukan sesuai ketentuan, atau justru terdapat kelonggaran sistemik yang memungkinkan praktik monopoli terselubung?

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021, serta dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pengadaan Langsung, proses pengadaan barang/jasa oleh pemerintah wajib menjunjung tinggi prinsip efisien, transparan, dan bebas dari konflik kepentingan. Setiap penyedia yang mengikuti pengadaan langsung wajib diverifikasi kapasitasnya melalui mekanisme Sisa Kemampuan Paket (SKP), guna memastikan jumlah pekerjaan yang ditangani tidak melebihi batas kemampuan teknis dan manajerialnya.

Lebih dari itu, regulasi mewajibkan setiap rencana pengadaan ditayangkan secara terbuka di Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) agar masyarakat dapat mengakses informasi secara luas dan turut mengawasi prosesnya. Namun kenyataannya, detail proyek justru sulit diakses dan hanya dapat ditemukan melalui kata kunci spesifik, sebuah kondisi yang bertentangan dengan semangat transparansi sebagaimana diamanatkan dalam regulasi pengadaan.

Baca juga:

Ketiadaan klarifikasi dari pejabat teknis di Dinas Cipta Karya semakin memperkuat dugaan publik bahwa telah terjadi pembiaran terhadap pola pengadaan yang tidak sehat. Padahal, dalam Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, disebutkan dengan tegas bahwa perangkat daerah berkewajiban menjamin setiap proses belanja dilakukan secara tertib, akuntabel, dan sesuai asas kepatutan.

Dominasi satu penyedia dalam belasan proyek tidak hanya menciptakan ketimpangan kesempatan usaha, tetapi juga membuka potensi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam konteks daerah, ini bukan lagi sekadar permasalahan teknis, melainkan sinyal adanya persoalan struktural dalam tata kelola proyek pemerintah.

Proyek infrastruktur seharusnya menjadi simbol pelayanan publik yang efisien dan berkeadilan. Namun jika proses di baliknya menyimpan potensi penyimpangan, maka kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah akan terus terkikis. Dinas teknis seperti Cipta Karya harus berdiri di garda depan untuk mengoreksi sistem, bukan justru menutup mata atas pola yang menyimpang dari prinsip good governance.

Masyarakat Bojonegoro tidak menuntut kesempurnaan, tapi menanti keberanian untuk berubah. Sudah saatnya tata kelola proyek daerah berjalan selaras dengan aturan, bukan bergantung pada siapa yang paling dekat dengan kekuasaan. Karena dari ruang transparansi dan keadilanlah, lahir pemerintahan yang bisa dibanggakan rakyatnya sendiri.

BUDI MR.ID

Share :