Blora, Jawa Tengah — Di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur digital nasional, muncul ironi dari Kabupaten Blora. Sebuah menara telekomunikasi yang berlokasi di Desa Sendangwates, Kecamatan Kunduran, diduga kuat dibangun tanpa memenuhi standar legalitas sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.
Pantauan media ini mengindikasikan bahwa proyek tower tersebut telah memasuki tahap operasional meski belum mengantongi dokumen perizinan resmi. Praktik ini bukan sekadar bentuk pelanggaran administratif, melainkan potensi kejahatan yang berdampak pada kerugian negara dan menciptakan ketimpangan dalam ekosistem bisnis telekomunikasi.
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, pada Pasal 7 ayat (1) dinyatakan bahwa “Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan.” Ketentuan administratif yang dimaksud mencakup Izin Mendirikan Bangunan (IMB), atau dalam nomenklatur terbaru dikenal sebagai Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021.
Lebih lanjut, Pasal 44 UU 28/2002 menyebutkan bahwa setiap pelanggaran terhadap kewajiban administratif dapat dikenakan sanksi administratif hingga sanksi pidana, bergantung pada beratnya pelanggaran dan akibat hukum yang ditimbulkan.
Selain itu, pembangunan dan pengoperasian menara telekomunikasi tanpa izin melanggar ketentuan dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 2 Tahun 2008, yang mengatur tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi. Pada Pasal 6 ayat (1) secara tegas disebutkan bahwa penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib memiliki izin dari pemerintah sebelum memulai operasional.
Seorang narasumber dari perusahaan penyedia jaringan nasional yang enggan disebutkan namanya menyampaikan bahwa praktik ilegal ini mengganggu prinsip persaingan usaha sehat.
Baca juga:
"Kami menempuh seluruh jalur legal, mulai dari perizinan PBG, rekomendasi tata ruang, hingga koordinasi dengan masyarakat. Tapi kami melihat beberapa pihak mendirikan tower tanpa prosedur, lalu langsung beroperasi. Ini menciptakan kompetisi tidak sehat," ungkapnya.
Ia menambahkan, pembiaran oleh otoritas daerah berpotensi mengindikasikan adanya kelalaian atau bahkan permainan sistemik.
Kasus ini menjadi preseden buruk jika tidak segera ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kabupaten Blora, khususnya Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), serta Aparat Penegak Hukum (APH). Penertiban bukan hanya soal ketertiban administratif, tetapi juga soal keadilan bisnis dan integritas pemerintahan.
Praktik seperti ini juga menyalahi semangat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang meski menyederhanakan perizinan, tetap menuntut pemenuhan aspek legal formal demi menjamin keselamatan, kenyamanan, dan kepastian hukum.
Jika dibiarkan, pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang seharusnya menjadi simbol kemajuan, justru berbalik menjadi potret ketidakpatuhan dan kebocoran regulasi.
REDAKSI