Beijing, China – Media Rajawali.id" Ketegangan di Laut China Selatan kembali meningkat setelah insiden serius yang melibatkan kapal perang dari China dan Amerika Serikat. Kedua kapal hampir bertabrakan di perairan yang menjadi sengketa, memicu kekhawatiran akan potensi konflik bersenjata di wilayah yang strategis ini. Insiden ini terjadi pada saat hubungan antara China dan Amerika Serikat berada pada titik rendah, dengan berbagai isu lain yang juga menambah ketegangan bilateral.
Menurut laporan dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat, kapal perusak USS John S. McCain sedang melakukan operasi kebebasan navigasi di dekat Kepulauan Paracel yang diklaim oleh China. Kapal perang China kemudian mendekat dan melakukan manuver yang dianggap berbahaya, hampir menyebabkan tabrakan. Pihak Amerika Serikat menyatakan bahwa tindakan tersebut sebagai bentuk intimidasi yang tidak dapat diterima.
“Kami akan terus menjalankan hak kami untuk beroperasi di perairan internasional dan menegakkan aturan hukum internasional,” kata juru bicara Pentagon. “Kami mendesak China untuk menghentikan tindakan provokatif dan berbahaya yang dapat meningkatkan risiko konflik di wilayah tersebut.”
Sebaliknya, Kementerian Pertahanan China menuduh Amerika Serikat melakukan provokasi dengan memasuki wilayah perairan yang mereka klaim sebagai bagian dari kedaulatan nasional China. Mereka menyatakan bahwa kapal perang China hanya melakukan tindakan defensif untuk melindungi kedaulatan teritorial mereka.
Baca juga:
“Kami tidak akan tinggal diam melihat negara lain mengganggu kedaulatan kami,” ujar juru bicara Kementerian Pertahanan China. “Kapal perang kami akan terus berpatroli dan melindungi perairan kami dari segala bentuk ancaman.”
Laut China Selatan adalah salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia dan memiliki potensi cadangan minyak dan gas yang besar. Wilayah ini telah lama menjadi sumber ketegangan antara China dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei, yang juga mengklaim sebagian wilayah tersebut. Amerika Serikat, meskipun tidak memiliki klaim di wilayah ini, telah berulang kali menyatakan dukungannya untuk kebebasan navigasi dan penyelesaian sengketa secara damai sesuai dengan hukum internasional.
Insiden ini juga mempengaruhi hubungan China dan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Beberapa negara menyatakan keprihatinan mereka atas tindakan China yang semakin agresif di Laut China Selatan. Filipina, misalnya, meminta China untuk menghormati putusan Pengadilan Arbitrase Internasional tahun 2016 yang menolak klaim historis China atas sebagian besar Laut China Selatan.
Sementara itu, ASEAN (Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara) menyerukan pentingnya menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan. Mereka menekankan perlunya dialog dan diplomasi dalam menyelesaikan sengketa teritorial, serta menghormati hukum internasional, termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Insiden di Laut China Selatan ini menunjukkan betapa rentannya wilayah tersebut terhadap konflik. Meski kedua belah pihak, China dan Amerika Serikat, menyatakan tidak menginginkan konfrontasi militer, tindakan provokatif di lapangan dapat dengan cepat memicu eskalasi yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, upaya diplomatik dan dialog antara semua pihak yang terlibat menjadi sangat penting untuk menghindari konflik dan memastikan stabilitas di wilayah yang strategis ini.
Dengan tensi yang semakin meningkat, perhatian dunia kini tertuju pada Laut China Selatan. Bagaimana negara-negara terkait akan mengelola ketegangan ini dan mencari solusi damai akan menjadi ujian besar bagi diplomasi internasional di tahun-tahun mendatang.