- Oleh : Budi Hartono
Tuban – Program pemeliharaan berkala jalan poros Desa Dagangan–Beringin, Kabupaten Tuban, kembali menuai sorotan publik. Proyek dengan nilai pagu dan HPS sebesar Rp780 juta itu, dimenangkan oleh CV. Pambuko Joyo dengan harga negosiasi Rp759.077.554,70—turun tipis hanya sekitar 2,68 persen dari HPS.
Secara administratif, penurunan harga tersebut berada di ambang minimal, sehingga menimbulkan pertanyaan publik mengenai sejauh mana mekanisme kompetisi tender benar-benar berlangsung sehat. Alih-alih menawarkan efisiensi signifikan, pemenang tender tampak melaju dengan angka nyaris menyentuh HPS, meninggalkan kesan bahwa proses pengadaan hanya formalitas yang menggugurkan kewajiban hukum.
Namun sorotan tajam bukan semata berhenti pada angka. Kondisi di lapangan justru menyingkap ironi yang lebih mencolok. Tambalan aspal yang seharusnya menghadirkan permukaan mulus dan kokoh, justru tampak kasar, berpori, serta tidak menyatu dengan lapisan lama. Tekstur permukaan yang timpang menandakan lemahnya pengawasan teknis serta minimnya ketelitian kontraktor dalam menjalankan pekerjaan yang dibiayai dengan dana publik.
Baca juga:
Masyarakat yang sehari-hari melintasi jalur ini merasakan langsung kekecewaan. Alih-alih memberi kenyamanan, jalan yang baru saja dikerjakan tampak seperti tambalan seadanya. Di tengah klaim “pemeliharaan berkala”, hasil fisik justru memperlihatkan wajah muram dari praktik pengelolaan anggaran infrastruktur desa.
Pakar tata kelola proyek konstruksi menilai, kualitas tambalan jalan dengan permukaan kasar dan berpori rawan mempercepat kerusakan. Air hujan mudah meresap, memperlemah struktur, dan dalam waktu singkat kerusakan akan kembali muncul. “Ini pola klasik. Tender turun harga tipis, pengerjaan seadanya, dan pada akhirnya publik kembali menanggung kerugian,” kata seorang pengamat infrastruktur lokal.
Situasi ini mempertegas problem laten dalam sistem pengadaan: lemahnya verifikasi teknis dan longgarnya kontrol lapangan. Dengan anggaran yang tidak kecil, publik menuntut akuntabilitas penuh, bahwa setiap rupiah yang digelontorkan harus berbanding lurus dengan kualitas jalan yang dibangun.
Di tengah retorika pembangunan infrastruktur yang kerap digembar-gemborkan, kondisi di Desa Dagangan–Beringin justru mengungkap fakta getir: tambalan yang kasar, proyek yang tak transparan, dan pengawasan yang longgar, semuanya menyisakan pertanyaan fundamental tentang kejujuran dan kesungguhan negara dalam merawat infrastruktur rakyat.