- Oleh : Budi Hartono
Bojonegoro – Sore yang semula tenang di Desa Kauman, Kecamatan/Kabupaten Bojonegoro, mendadak berubah ketika hujan turun membasahi tanah yang sejak pagi kering. Di sudut desa, di sebuah kedai sederhana bernama Actore Mediart, sekelompok anak dan remaja bergegas meneduh. Atap kedai itu bocor di satu sisi, membiarkan air menetes deras ke lantai semen. Namun, di tengah udara lembap dan dingin, suasana di dalam ruangan justru terasa hangat, bukan karena suhu, melainkan karena cerita dan kebersamaan yang hidup di sana.
Kedai kecil tersebut bukan sekadar tempat singgah. Ia menjadi ruang perjumpaan unik antara teman tuli dan teman dengar, tempat mereka berbagi bahasa, makna, dan tawa. Tepat di sampingnya, terbentang halaman kecil yang kini dikenal sebagai Taman Inklusi Kauman—sebuah ruang kreatif yang diinisiasi oleh seniman pantomim Takim Kok Gito-Gito. Meski sederhana, taman ini menjelma menjadi simbol keterbukaan dan penerimaan di tengah masyarakat Bojonegoro.
Di taman inilah proses belajar berlangsung tanpa batasan. Teman dengar dengan kemampuan pendengaran sempurna berusaha memahami bahasa isyarat, sementara teman tuli mengekspresikan dirinya melalui gestur dan ekspresi. Salah paham kadang terjadi, namun di antara mereka hal itu bukan penghalang, justru menjadi pemantik tawa dan keakraban. Mereka menyebutnya “bahasa salah paham,” bahasa yang menghapus jarak, bukan menambah sekat.
Baca juga:
Salah satu penggerak di taman ini adalah Gita, perempuan tuli yang kini menjadi mentor bagi teman dengar. Ia mengakui bahwa awalnya ia kerap merasa canggung dan kurang percaya diri untuk berinteraksi. Namun melalui forum ini, ia belajar menemukan dirinya kembali.
- “Dengan adanya ruang seperti ini, saya merasa punya jembatan untuk belajar bersosialisasi di tengah masyarakat. Sekarang saya percaya tidak ada kata terlambat untuk belajar,” tutur Gita dengan senyum yang sarat keyakinan.
Lebih dari sekadar ruang berkumpul, Taman Inklusi Kauman telah tumbuh menjadi model pembelajaran sosial yang nyata. Di tempat ini ada ruang belajar untuk memahami perbedaan, ruang ekonomi yang mendukung kemandirian, ruang apresiasi bagi karya, hingga ruang berbagi perasaan tanpa sekat. Semua berjalan alami, di bawah payung nilai kemanusiaan yang sederhana: saling menghargai.
Suasana hujan yang membasahi atap bocor di kedai kecil itu menjadi saksi bagaimana inklusi sesungguhnya bekerja, tidak melalui konsep megah, melainkan lewat keberanian untuk memahami dan diterima.
Keberadaan Taman Inklusi Kauman menjadi bukti bahwa kesetaraan tidak membutuhkan ruang besar atau fasilitas mewah. Cukup dengan dukungan dan fasilitasi sederhana, taman ini dapat terus hidup, tumbuh, dan menginspirasi banyak pihak. Di sanalah nilai-nilai inklusi disemai setiap hari, melalui bahasa, tawa, dan kehangatan manusia yang belajar untuk saling memahami.