Bojonegoro, Jawa Timur — Sebuah surat resmi yang dikeluarkan oleh Komite Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 1 Bojonegoro pada 10 Juni 2025 mengundang sorotan publik. Pasalnya, dalam surat bernomor 06/Komite MIN 1/HM.01/6/2025 itu, pihak komite mengajukan permohonan partisipasi/infaq dari orang tua siswa dengan nominal yang telah ditetapkan, dan mengaitkan pembayaran tersebut dengan pengambilan rapor peserta didik.
Surat tersebut menyebutkan bahwa setiap siswa diminta membayar sebesar Rp188.000 untuk mendukung rangkaian kegiatan keagamaan dan kenegaraan sepanjang tahun ajaran, termasuk penyembelihan hewan qurban, peringatan hari santri, hingga karnaval dan kegiatan semarak kemerdekaan. Jumlah total anggaran disebutkan mencapai Rp194.139.000 dan dialokasikan untuk 12 jenis kegiatan.
Yang menjadi ganjalan, surat itu secara eksplisit menyatakan bahwa “tiap siswa dimohon berpartisipasi Rp188.484,- dibulatkan menjadi Rp188.000,-” dan bahwa “pembayaran dilakukan melalui wali kelas masing-masing pada waktu pengambilan rapor.”
Pernyataan yang membulatkan nilai partisipasi dan mengaitkannya dengan pengambilan rapor memunculkan kekhawatiran akan adanya praktik pemaksaan terselubung dalam bentuk yang diklaim sebagai “infaq sukarela.”
Jika merujuk pada ketentuan yang berlaku, praktik semacam ini dapat berbenturan dengan sejumlah regulasi. Salah satunya adalah Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, yang secara tegas menyatakan bahwa komite sekolah atau madrasah dilarang melakukan pungutan dalam bentuk apa pun kepada peserta didik atau orang tua/walinya (Pasal 12 huruf b).
Baca juga:
Lebih lanjut, Pasal 10 ayat (1) Permendikbud 75/2016 memang membuka ruang bagi komite sekolah untuk melakukan penggalangan dana dari masyarakat. Namun, ayat (2) dalam pasal yang sama menekankan bahwa penggalangan dana tersebut harus dilakukan secara sukarela, tidak memaksa, dan tidak menjadi syarat dalam pelayanan pendidikan.
Dalam konteks madrasah, aturan yang serupa juga tercantum dalam SK Dirjen Pendis Kemenag No. 660 Tahun 2021 yang mengatur bahwa partisipasi masyarakat dalam bentuk dana harus bersifat non-komersial dan tidak membebani orang tua/wali murid.
Praktik pembebanan biaya pendidikan dengan dalih infaq atau partisipasi kegiatan oleh lembaga pendidikan negeri, tanpa adanya klausul eksplisit bahwa hal tersebut bersifat sukarela, dapat menimbulkan implikasi serius. Terlebih jika pelaksanaannya disertai dengan konsekuensi administratif, seperti pengambilan rapor, yang menjadi hak mutlak siswa.
“Jika ada unsur pemaksaan, baik secara lisan, tertulis, maupun lewat kebijakan tersirat seperti pengaitan dengan pengambilan rapor, maka itu bisa dikategorikan sebagai pungutan liar,” tegas Zuhdan Haris Zamzami, ST, SH, dari Kantor Hukum LAPKN Jombang. Ia menambahkan bahwa praktik seperti itu bisa dilaporkan ke Ombudsman RI atau Saber Pungli.
Pendidikan dasar di sekolah negeri, termasuk madrasah negeri, pada prinsipnya diselenggarakan secara gratis, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 34 ayat (2), yang menyatakan bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”
Masyarakat berharap agar MIN 1 Bojonegoro maupun komite madrasah dapat mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan hukum dalam setiap kegiatan yang menyangkut pembiayaan, serta memastikan bahwa hak-hak pendidikan siswa tidak terhalangi oleh persoalan biaya yang semestinya bersifat sukarela.
REDAKSI