Home Opini

Solar Miliaran Rupiah di Bojonegoro Antara Kebutuhan Nyata dan Tradisi Membakar Anggaran

by Media Rajawali - 28 Agustus 2025, 17:25 WIB

  • Oleh : Budi Hartono 

BOJONEGORO – Angka-angka sering kali berbicara lebih jujur daripada pernyataan. Dalam dokumen Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) LKPP, Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air (PU SDA) Kabupaten Bojonegoro menuliskan rencana belanja bahan bakar minyak (BBM) non subsidi tahun 2025 senilai Rp 2,39 miliar. Empat paket belanja dengan volume total lebih dari 95 ribu liter solar disiapkan untuk menghidupi roda birokrasi.

Sekilas, belanja ini tampak sebagai kebutuhan rutin. Namun jika ditelisik lebih jauh, ada paradoks yang tidak bisa diabaikan. Kabupaten yang terus-menerus berbicara soal efisiensi anggaran justru menyisihkan miliaran rupiah hanya untuk solar. Apakah benar kebutuhan energi sebuah dinas bisa mencapai level industri besar? Atau ini sekadar pengulangan tradisi lama: menghabiskan anggaran sebelum tahun fiskal berakhir?

Baca juga:

Di sinilah problem klasik birokrasi daerah muncul. Belanja BBM kerap diposisikan sebagai “anggaran aman” mudah dihitung, gampang diserap, dan sulit diverifikasi langsung oleh publik. Laporan pemakaian ribuan liter solar bisa disusun dengan rapi, tetapi siapa yang mampu memastikan bahwa setiap tetes benar-benar terbakar di mesin pompa atau alat berat?

Fenomena ini memperlihatkan dua hal. Pertama, lemahnya mekanisme pengawasan publik terhadap belanja rutin pemerintah daerah. Kedua, kecenderungan dinas untuk membungkus pengeluaran besar dengan narasi teknis, tanpa transparansi yang memadai. Selama dua hal ini dibiarkan, angka-angka miliaran hanya akan menjadi formalitas di atas kertas, sementara masyarakat jarang merasakan dampak nyata.

Bojonegoro adalah kabupaten agraris. Setiap rupiah anggaran seharusnya bertransformasi menjadi air yang mengalir di saluran irigasi, sawah yang subur, dan kesejahteraan petani. Tetapi ketika BBM menjadi pos dominan dalam belanja dinas, bayangan pemborosan justru lebih kentara ketimbang manfaat.

Pada akhirnya, opini publik tidak bisa dibungkam dengan tabel anggaran. Transparansi dan akuntabilitas adalah tuntutan mutlak. Tanpa keduanya, belanja solar senilai Rp 2,39 miliar hanyalah simbol rapuhnya tata kelola keuangan daerah: uang rakyat yang terbakar, bukan untuk terang, melainkan untuk asap birokrasi.

Share :