Bojonegoro, Jawa Timur — Proyek pembangunan Rumah Potong Hewan (RPH) di Desa Banjarsari, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Bojonegoro, kini menjadi sorotan tajam. Dibangun dengan dana publik yang tidak sedikit, proyek ini justru berakhir mangkrak, rusak, dan belum bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
Proyek tersebut merupakan bagian dari kegiatan Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Cipta Karya Kabupaten Bojonegoro. Nilai pagu yang dialokasikan dalam APBD 2022 tercatat sebesar Rp8.802.014.422,00, dengan nilai HPS (Harga Perkiraan Sendiri) sebesar Rp8.793.415.420,00. Setelah proses lelang dan verifikasi, nilai akhir kontrak yang disepakati dan diverifikasi adalah Rp8.284.842.015,22.
Pelaksana pekerjaan adalah CV. Dyuy Jaya Sakti, perusahaan kontraktor yang beralamat di Sidoarjo, Jawa Timur.
Namun hingga April 2025, kondisi bangunan di lapangan sangat memprihatinkan. Proyek belum diserahterimakan, belum difungsikan, dan telah menunjukkan kerusakan struktural, seperti retakan pada bagian dinding bangunan. Fakta ini menimbulkan tanda tanya besar terhadap kualitas pekerjaan dan efektivitas pengawasan dari instansi terkait.
Berdasarkan dokumen resmi Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari BPK Perwakilan Provinsi Jawa Timur, disebutkan bahwa terdapat kekurangan volume pekerjaan yang belum dibayar lunas, senilai Rp78.683.264,33, khusus untuk proyek RPH tersebut. Ini mengindikasikan adanya potensi kerugian keuangan daerah akibat pekerjaan yang tidak sesuai volume kontrak.
Baca juga:
Konfirmasi kepada Kepala UPT RPH sekaligus PPTK proyek, Yuyun, tidak menghasilkan kejelasan administratif. Ia menyatakan:
"Saya hanya Kepala UPT RPH, yang saat ini hanya mencakup RPH Padangan dan Baureno. Kalau terkait kegiatan di Banjarsari, memang saya sebagai PPTK-nya. Namun kalau terkait operasional RPH tersebut ke depan, sebaiknya langsung dikonfirmasi ke Kepala Dinas atau Sekretaris Dinas. Saya khawatir nanti terjadi salah persepsi. Silakan dikonfirmasi lebih lanjut agar informasinya lebih akurat.
Sementara itu, awak media juga berusaha mengonfirmasi ke Dinas Cipta Karya. Namun saat mendatangi kantor, Satito Hadi, Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Cipta Karya, tidak berada di tempat. Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak dinas.
Pertanyaannya kini mengemuka: bagaimana mungkin proyek bernilai lebih dari Rp8 miliar dibiarkan terbengkalai selama bertahun-tahun tanpa kejelasan progres maupun serah terima? Di mana fungsi pengawasan dan tanggung jawab struktural pemerintah daerah?
Jika tak segera ditindaklanjuti, proyek RPH Banjarsari berpotensi menjadi simbol kegagalan tata kelola dana publik: bangunan mangkrak, anggaran habis, dan kepercayaan masyarakat terkikis.
REDAKSI