- Oleh : Budi Hartono
Bojonegoro – Minggu pagi (14/9/2025), Dusun Lemahbang, Desa Margomulyo, Kecamatan Balen, menjelma menjadi panggung kebersamaan yang tak biasa. Dari sudut ke sudut, jalan-jalan desa dipenuhi lautan manusia, menyatu dalam satu tujuan: merayakan puncak Sedekah Bumi Petilasan Syekh Siti Jenar, sebuah tradisi yang tak pernah lekang oleh waktu, diwariskan dari leluhur, dipelihara dengan cinta, dan dihidupi oleh generasi yang terus datang silih berganti.
Sejak matahari mulai menanjak, derap langkah warga berbaur dengan irama kehidupan. Jalan sehat yang berpadu dengan karnaval budaya membuka lembaran hari, menebar semarak yang jarang ditemukan dalam keseharian desa. Di barisan depan, drumben berdentum gagah, menyalakan semangat pagi. Disusul panitia dengan kendil dan gunungan, lambang kesuburan bumi yang tak pernah ingkar janji. Lembaga pendidikan hadir dengan siswa-siswi penuh keceriaan, sementara deretan RT 13 hingga RT 22 melengkapi harmoni kebersamaan, semua bergandeng dalam langkah yang sama, tanpa sekat, tanpa jarak.
Masyarakat dari berbagai penjuru pun turut merapat. Ada yang membawa keluarga, ada pula yang datang sendiri, namun semuanya hadir dengan semangat yang sama: menyatukan diri dalam pesta rakyat yang sarat makna. Sorak sorai, tawa riang, dan lantunan musik tradisional bersahutan, membentuk alunan yang seolah memeluk setiap hati. Karnaval bukan sekadar parade; ia adalah untaian kebersamaan, mozaik persaudaraan, yang dirajut dalam warna-warni kehidupan desa.
Baca juga:
Hingga tibalah gunungan hasil bumi di lapangan desa. Arak-arakan yang penuh khidmat berubah menjadi riuh sukacita. Dalam sekejap, warga menyerbu, berebut isi gunungan dengan tangan yang menjulur ke udara, wajah yang penuh harap, dan tawa yang pecah bersama denting doa. Adegan itu bukan sekadar perebutan hasil bumi, melainkan ritual syukur, simbol keyakinan bahwa bumi, dengan segala kesuburan dan berkahnya, adalah anugerah yang harus terus dijaga.
Selepas itu, suasana kian berwarna. Panitia mengumumkan hadiah undian jalan sehat, satu per satu nama dipanggil, dan sorak gembira pun membahana. Hadiah yang sederhana terasa begitu istimewa, karena ia hadir bukan semata sebagai benda, melainkan sebagai lambang perhatian dan perekat sukacita.
Namun perayaan tak berhenti di siang hari. Menjelang malam, panggung seni campursari telah berdiri megah, menunggu giliran untuk menutup prosesi. Lampu-lampu mulai menyala, denting gamelan bersiap mengalun, dan masyarakat kembali berkumpul. Malam pun ditutup dengan alunan musik tradisi yang mengantar hati warga melepas lelah, menyatu dalam rasa syukur yang berlapis-lapis.
Sedekah Bumi di Petilasan Syekh Siti Jenar bukan sekadar agenda tahunan, bukan sekadar ritual yang dijalankan karena kebiasaan. Ia adalah jiwa dari kebersamaan, ruang perjumpaan yang menyatukan, dan pengingat bahwa manusia hanyalah tamu di bumi yang terus memberi. Di dalamnya, tersimpan pesan abadi: bahwa syukur adalah pondasi hidup bersama, dan persaudaraan adalah warisan yang harus dijaga setulus doa.