- Oleh : Budi Hartono
Tuban – Pembangunan saluran air di Desa Bangunrejo, Kecamatan Soko, Kabupaten Tuban, kini menuai kritik. Proyek yang menelan anggaran hampir setengah miliar rupiah dari APBD ini dianggap bermasalah baik dari sisi administrasi tender maupun kualitas pekerjaan di lapangan.
Dokumen lelang menunjukkan, proyek dengan pagu Rp487 juta dan HPS (Harga Perkiraan Sendiri) Rp486.887.181,00 dimenangkan oleh Dua Sembilan Group dengan nilai kontrak hasil negosiasi sebesar Rp484.287.557,54. Penurunan harga dari HPS ke kontrak hanya sekitar Rp2,6 juta atau setara 0,53 persen.
Baca juga:
Penurunan yang nyaris tidak signifikan ini mengindikasikan lemahnya persaingan tender serta menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas proses pengadaan. Namun sorotan publik tidak berhenti pada sisi administratif. Fakta di lapangan justru mengungkap dugaan pengabaian spesifikasi teknis yang lebih serius.
Berdasarkan dokumen RAB, pekerjaan saluran seharusnya dilengkapi lantai dasar pasir urug setebal 5 cm sebagai pondasi dan perata dasar konstruksi. Namun, realisasi di lapangan memperlihatkan saluran langsung didirikan di atas tanah tanpa adanya lapisan dasar pasir sebagaimana tercantum dalam dokumen perencanaan. Indikasi tersebut tampak jelas dari kondisi saluran yang berlumpur dan tergenang air. Padahal, bila lapisan dasar benar-benar dipasang, air semestinya dapat meresap maupun mengalir dengan baik, bukan justru terjebak di dalam saluran.
- “Kalau acuan RAB jelas ada lantai dasar pasir 5 cm, tapi di lapangan kosong, berarti sudah ada pengurangan volume. Dampaknya bukan hanya kualitas, tapi juga potensi kerugian negara,” ujar seorang pemerhati pembangunan desa.
Dalam standar teknis, lantai dasar berfungsi menjaga stabilitas dinding saluran agar tidak mudah ambles, sekaligus memastikan aliran air lancar. Tanpa itu, bangunan rawan cepat rusak dan kehilangan manfaatnya bagi masyarakat.
Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Perumahan Rakyat, dan Kawasan Permukiman Kabupaten Tuban sebagai pihak yang bertanggung jawab diminta segera melakukan evaluasi dan memberi penjelasan terbuka. Proyek bernilai hampir setengah miliar rupiah ini seharusnya menjadi wujud nyata pembangunan infrastruktur desa, bukan justru melahirkan kekecewaan akibat kualitas yang dipertanyakan.