Home Nasional

Proyek Rp 577,8 Juta di Tuban Retak di Awal, Integritas Pembangunan Dipertanyakan

by Media Rajawali - 27 Agustus 2025, 20:12 WIB

  • Oleh : Budi Hartono 

TUBAN – Proyek infrastruktur yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2025 senilai Rp 577,8 juta, yang seharusnya memberi manfaat nyata bagi masyarakat, justru memantik kekecewaan. Pekerjaan yang baru seumur jagung sudah menampakkan kerusakan, meninggalkan pertanyaan serius tentang kualitas dan pengawasan pelaksanaannya.

Keanehan lain muncul dari penempatan papan nama proyek yang justru dipasang jauh dari lokasi pekerjaan. Padahal aturan jelas menyebutkan papan informasi wajib berada tepat di titik pelaksanaan sebagai bentuk transparansi, sehingga masyarakat dapat mengawasi jalannya pembangunan. Jarak yang jauh antara papan informasi dan lokasi menimbulkan kesan bahwa transparansi hanya sekadar formalitas.

Baca juga:

Seorang petani yang ditemui di area persawahan tersebut mengungkapkan keterangannya kepada awak media. “Iyaa mas, papan namanya ada di sini. Dulu materialnya juga ditumpuk di sini, tapi pekerjaan dimulai di Desa Pomahan. Dari papan nama ke lokasi lumayan jauh kalau jalan kaki. Mending naik kendaraan saja. Pekerjaannya sangat jelek mas, baru mulai tapi sudah pada rusak,” ucapnya sembari memanen kacang tanah.

Upaya konfirmasi kepada kontraktor pelaksana pun belum membuahkan hasil. Pesan yang dikirim melalui WhatsApp hingga kini hanya berstatus centang satu. Sementara pihak Dinas PUPR bidang Sumber Daya Air, melalui pejabat terkait Sutekno, menyatakan bahwa persoalan ini telah dilimpahkan ke Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Namun jawaban normatif itu justru menambah kecurigaan publik bahwa ada kecenderungan lempar tanggung jawab di tubuh birokrasi.

Kini sorotan publik mengarah kepada Bupati Tuban, Aditya Halindra Faridzky, S.E.. Sebagai kepala daerah, kehadirannya tidak cukup sebatas menerima laporan di atas meja. Ia dituntut turun langsung ke lapangan untuk memastikan kebenaran fakta. Pertanyaan yang kini mengemuka di masyarakat sederhana namun krusial, apakah uang rakyat sebesar Rp 577,8 juta akan dibiarkan lenyap tanpa hasil, atau justru digunakan sebagai momentum untuk menegakkan akuntabilitas dengan meminta kontraktor bertanggung jawab penuh atas pekerjaannya?

Kasus ini sejatinya tidak berhenti pada kerusakan fisik semata. Yang sedang dipertaruhkan adalah kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah dalam mengelola uang rakyat. Jika kualitas pembangunan dibiarkan menurun, maka bukan hanya bangunan yang rapuh, tetapi juga wibawa penyelenggara pemerintahan yang ikut runtuh.

Share :