- Oleh : Budi Hartono
Tuban — Proyek peningkatan saluran drainase dan trotoar di ruas Jalan Raya Jatirogo–Blora, tepatnya di depan Perum KPH Jatirogo, Kabupaten Tuban, menuai kritik tajam dari warga. Pekerjaan yang menggunakan dana publik lebih dari Rp1,1 miliar itu dinilai tidak memenuhi standar teknis konstruksi dan estetika tata kota yang semestinya dijaga.
Proyek ini dilaksanakan oleh CV Sumber Anugerah Illahi dengan nilai kontrak Rp1.164.065.000 dari total pagu Rp1.191.000.000. Namun, kondisi di lapangan menunjukkan indikasi kuat adanya penyimpangan terhadap spesifikasi teknis sebagaimana diatur dalam dokumen kontrak maupun ketentuan pemerintah.
Hasil peninjauan di lokasi menunjukkan sejumlah bagian pekerjaan terkesan dikerjakan seadanya. Pada lantai kerja saluran, volume pekerjaan diduga tidak sesuai dengan ketentuan Spesifikasi Umum Bina Marga 2018 Revisi 2, yang mewajibkan ketebalan dan mutu beton sesuai desain teknis (biasanya K-175 untuk lantai kerja dengan tebal minimal 5–10 cm).
Selain itu, berm kanan dan kiri saluran terlihat tidak dipadatkan sebagaimana mestinya. Padahal, dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor 28/PRT/M/2016 tentang Pedoman Analisis Harga Satuan Pekerjaan Bidang Pekerjaan Umum, setiap timbunan atau urugan wajib melalui tahapan pemadatan dengan alat mekanis hingga mencapai kepadatan minimal 95% dari kepadatan maksimum (Modified Proctor Test).
Tanah urugan dari material pedel yang tampak berongga di sisi saluran memperlihatkan indikasi lemahnya pengawasan terhadap kualitas pekerjaan tanah (earthwork). Kondisi tersebut berpotensi menyebabkan ambles atau longsor pada bahu jalan ketika dilalui kendaraan berat atau saat hujan deras mengguyur.
Pemasangan U-ditch juga tampak tidak sejajar dan tidak lurus. Padahal, menurut Peraturan Menteri PUPR Nomor 09/PRT/M/2014 tentang Pedoman Pemeliharaan dan Rehabilitasi Drainase Perkotaan, elemen drainase di kawasan perkotaan harus memperhatikan aspek fungsi teknis sekaligus estetika lingkungan.
Hasil pekerjaan yang tidak presisi ini menimbulkan kesan proyek dikerjakan tanpa pengawasan ketat. “Kalau dilihat, pekerjaannya asal-asalan. U-ditchnya nggak lurus, dan tanah di pinggirnya nggak dipadatkan. Sayang, ini kan di tengah kota, harusnya rapi,” ujar Prianto, warga sekitar, Rabu (29/10/2025).
Baca juga:
Selain persoalan teknis, pelanggaran serius juga terjadi pada aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Pantauan menunjukkan sejumlah pekerja tidak mengenakan alat pelindung diri (APD) seperti helm proyek, rompi keselamatan, atau sepatu kerja.
Padahal, kewajiban penerapan K3 telah diatur dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor 10/PRT/M/2021 tentang Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK), yang menegaskan setiap penyedia jasa wajib memastikan pekerja dilengkapi APD dan lingkungan kerja memenuhi standar keselamatan.
“Kalau pengawasan teknis dan administrasi longgar, hasilnya pasti seperti ini. Pemerintah daerah harus tegas menindak kontraktor yang tidak patuh pada spesifikasi maupun aturan K3,” tegas Prianto, yang juga berlatar belakang teknik sipil.
Dari serangkaian temuan di lapangan, terlihat bahwa pengawasan dari pihak konsultan maupun dinas teknis terbilang lemah. Padahal, fungsi pengawasan merupakan bagian tak terpisahkan dari Sistem Pengendalian Mutu (Quality Control) sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta perubahannya dalam Perpres 12/2021.
Ketiadaan pengawasan yang tegas tidak hanya berdampak pada penurunan kualitas fisik bangunan, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap tata kelola proyek infrastruktur daerah.
Masyarakat berharap Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Perumahan Rakyat, dan Kawasan Permukiman (DPU PR PRKP) Kabupaten Tuban segera melakukan evaluasi menyeluruh. Pemerintah diminta tidak menutup mata dan memastikan proyek publik memenuhi tiga aspek utama: mutu teknis, keselamatan kerja, dan estetika lingkungan.
Media ini akan berupaya memperoleh konfirmasi resmi dari DPU PR PRKP Kabupaten Tuban terkait temuan ketidaksesuaian spesifikasi dan dugaan pelanggaran teknis pada proyek tersebut.
Kritik masyarakat terhadap proyek drainase ini mencerminkan keresahan publik terhadap lemahnya tata kelola pembangunan daerah. Di tengah meningkatnya belanja infrastruktur, akuntabilitas justru menjadi tuntutan utama. Sebab, setiap kesalahan teknis bukan sekadar soal estetika, melainkan soal tanggung jawab terhadap uang rakyat, dan terhadap kepercayaan publik yang menuntut transparansi nyata.