Lamongan – Ironi pembangunan desa kembali tersaji. Proyek pemeliharaan jaringan air bersih di Desa Kedunglerp, Kecamatan Modo, Kabupaten Lamongan, yang bersumber dari Dana Desa Tahun Anggaran 2025, mulai menampakkan tanda-tanda kerusakan meski belum genap dua bulan usai pelaksanaan.
Pantauan di lapangan menunjukkan adanya rembesan air di sisi kiri bangunan penampungan. Aliran kecil yang keluar dari bawah struktur tersebut mengindikasikan adanya kebocoran dini pada konstruksi. Kondisi ini mencederai semangat transparansi dan efektivitas penggunaan Dana Desa yang selama ini digaungkan oleh pemerintah pusat.
Proyek ini dikerjakan dengan sistem Padat Karya Tunai (PKT) dan mencakup pembangunan jaringan pipanisasi sepanjang 906 meter. Anggaran yang digunakan sebesar Rp69 juta, sudah termasuk pajak dan biaya operasional. Pelaksanaan dimulai pada 20 Februari 2025 dan dinyatakan selesai pada 20 Mei 2025. Seluruh pekerjaan dilaksanakan oleh Tim Pelaksana Kegiatan Anggaran Desa Kedunglerp.
Namun alih-alih membawa manfaat, yang terlihat justru menimbulkan kekisruhan teknis. Beberapa praktisi menyebutkan, kebocoran dini pada proyek air bersih nyaris selalu berakar dari mutu material yang rendah atau kesalahan teknis saat instalasi, mulai dari pipa tipis, sambungan yang rapuh, hingga absennya uji tekanan (pressure test) sebelum digunakan.
“Kita bicara soal kebutuhan dasar warga: air bersih. Kalau baru hitungan minggu sudah bocor, maka patut dipertanyakan: speknya sesuai RAB atau asal beli di toko terdekat?” sindir seorang pemerhati infrastruktur desa.
Ketika kualitas ditekan demi menyiasati biaya, masyarakatlah yang harus menanggung akibatnya. Padahal, Dana Desa adalah uang negara yang dipungut dari rakyat dan harus kembali untuk kepentingan rakyat, bukan sekadar menggugurkan kewajiban administrasi.
Tak kalah menarik adalah kondisi papan nama proyek. Dalam semangat transparansi publik, papan informasi seharusnya menjadi alat komunikasi kepada masyarakat. Namun di lapangan, papan tersebut hanya ditancapkan ala kadarnya, miring tak beraturan seperti batang singkong yang baru ditanam.
Bentuk pemasangan yang sembrono ini memperkuat kesan bahwa keterbukaan hanya dijalankan sebagai formalitas. Meski secara isi papan informasi proyek telah memenuhi unsur kelayakan baca, namun penempatannya yang asal ditancapkan, miring dan tidak proporsional, justru mencerminkan minimnya keseriusan dalam menerapkan prinsip transparansi publik.
Baca juga:
Proyek seperti ini semestinya tidak hanya diawasi oleh Tim Pelaksana, namun juga oleh Pendamping Desa, aparat kecamatan, bahkan masyarakat sebagai pemilik sah pembangunan desa. Sayangnya, dalam praktiknya, pengawasan sering kali tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Beberapa regulasi yang seharusnya menjadi pedoman, antara lain:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, mengatur pengelolaan dana desa yang transparan, akuntabel, dan partisipatif.
Permendesa PDTT Nomor 7 Tahun 2023, menekankan bahwa pembangunan desa harus berbasis kebutuhan dan berkelanjutan.
Permendagri Nomor 20 Tahun 2018, mengatur tata kelola keuangan desa secara tertib dan dapat dipertanggungjawabkan.
PMK Nomor 201/PMK.07/2022, memberi ruang bagi partisipasi dan evaluasi masyarakat terhadap penggunaan dana publik.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Pemerintah Desa Kedunglerp maupun pihak Kecamatan Modo terkait kebocoran dan dugaan pelanggaran spesifikasi. Publik menanti langkah konkret: audit teknis, evaluasi anggaran, dan perbaikan menyeluruh bukan sekadar janji manis yang menguap bersama lumpur di saluran bocor.
Mediarajawali.id membuka ruang hak jawab bagi para pihak yang merasa perlu memberikan klarifikasi. Karena dalam dunia pembangunan, yang lebih berbahaya dari kebocoran air adalah bocornya integritas.
REDAKSI