Blora, Jawa Tengah – ' Sabtu, 22 Juni 2024 ' Keluhan para petani di Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, mencuat ke permukaan menyusul kelangkaan pupuk bersubsidi serta lonjakan harga jual pupuk yang jauh melebihi ketetapan resmi pemerintah. Sejumlah petani mengaku terpaksa membeli pupuk Urea bersubsidi seharga Rp260.000 hingga Rp270.000 per kemasan 50 kilogram lebih dari dua kali lipat Harga Eceran Tertinggi (HET) yang diatur pemerintah.
Diduga kuat, praktik tersebut melibatkan Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) “Sumber Urip Lestari Jaya” berinisial PG, yang juga merupakan mitra pemasok Lumbung Pangan Nasional di Dusun Bapangan, Desa Mendenrejo, Kecamatan Kradenan. Oknum tersebut disebut-sebut menjual pupuk subsidi jenis Urea kepada anggota kelompoknya dengan harga yang tidak sesuai aturan, menciptakan keresahan luas di kalangan petani.
“Kami terpaksa beli karena memang butuh. Tapi harganya bisa mencapai Rp270 ribu per sak. Padahal seharusnya hanya sekitar Rp112 ribu,” ujar seorang petani yang enggan disebut namanya kepada wartawan Media Rajawali. Ia juga menambahkan bahwa distribusi pupuk sering kali tidak lancar, bahkan kerap mengalami keterlambatan dan kelangkaan, terutama untuk jenis NPK Phonska yang vital bagi budidaya padi.
Pemerintah telah menetapkan Harga Eceran Tertinggi untuk pupuk bersubsidi melalui Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024, yang merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 10 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian.
Dalam Pasal 12 ayat (1) peraturan tersebut ditegaskan bahwa: "Penyalur Lini IV dan pengecer yang ditunjuk wajib menjual pupuk bersubsidi kepada petani atau kelompok tani sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan pemerintah. " Adapun HET yang dimaksud adalah sebagai berikut: Urea: Rp2.250 per kilogram atau Rp112.500 per 50 kg, NPK Phonska: Rp2.300 per kilogram atau Rp115.000 per 50 kg.
Baca juga:
Praktik jual beli di atas harga resmi ini, selain merugikan petani, juga berpotensi melanggar hukum. Jika terbukti ada unsur penyimpangan atau penimbunan, maka tindakan tersebut dapat dijerat melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, terutama Pasal 107 yang menyebutkan bahwa:
“Pelaku usaha yang melakukan penimbunan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dapat dikenai pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50 miliar.”
Para petani berharap pemerintah pusat maupun daerah segera melakukan investigasi mendalam terhadap praktik ini, serta memastikan kelancaran distribusi pupuk bersubsidi hingga ke tangan petani sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
“Kami hanya ingin pupuk tersedia dengan harga sesuai aturan. Sebab ini menyangkut hasil panen kami, dan kehidupan keluarga kami,” tutur seorang petani lainnya dengan nada penuh harap.
Situasi ini menjadi pengingat bahwa pengawasan distribusi pupuk harus diperketat agar tidak dimanipulasi oleh oknum tak bertanggung jawab yang memanfaatkan kelangkaan untuk keuntungan pribadi, sementara petani sebagai tulang punggung ketahanan pangan nasional justru menjadi korban.
REDAKSI