Home Daerah

Pesantren dan Politik: Polemik di Balik Undangan dari Al-Fatimah

by Media Rajawali - 21 November 2024, 22:33 WIB

Bojonegoro, 21 November 2024 – Sebuah undangan resmi yang diterbitkan oleh Pondok Pesantren Modern Al-Fatimah, Sukorejo, Bojonegoro, kini menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Undangan tersebut mengarahkan wali santri untuk menghadiri acara Mlaku Bareng di Posko Pemenangan Daerah Khofifah-Emil. Acara ini dijadwalkan berlangsung pada Jumat, 22 November 2024, pukul 06.00 WIB, dan akan dihadiri tokoh-tokoh politik seperti Dr. (H.C.) Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa, M.Si., dan Dr. H. Emil Elestianto Dardak, B.Bus., M.Sc., Ph.D.

Yang menarik, lokasi acara ini ternyata berada di kediaman pimpinan pesantren, Dr. KH. Tamam Syaifuddin, M.Si., yang juga turut menandatangani undangan tersebut. Hal ini semakin memicu polemik mengenai sejauh mana batas keterlibatan lembaga pendidikan keagamaan dalam aktivitas politik praktis.


Pesantren, sebagai salah satu institusi pendidikan tertua di Indonesia, dikenal sebagai pusat pembelajaran agama dan pembentukan karakter moral bangsa. Namun, muncul kekhawatiran bahwa keterlibatan pesantren dalam kegiatan yang terkait dengan politik praktis dapat mencederai kepercayaan masyarakat terhadap independensi lembaga ini.

"Pesantren adalah simbol netralitas moral dan agama. Jika lembaga ini terlibat dalam kegiatan politik praktis, integritasnya sebagai institusi pendidikan akan dipertanyakan," ungkap seorang pengamat pendidikan keagamaan yang enggan disebutkan namanya.


Terdapat sejumlah landasan hukum yang menegaskan pentingnya menjaga netralitas lembaga pendidikan, termasuk pesantren, dari intervensi politik:

1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1)
Pendidikan di Indonesia bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa intervensi atau keberpihakan kepada kepentingan politik tertentu.

Baca juga:


2. UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren
Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa pesantren memiliki tiga fungsi utama: sebagai pusat pendidikan agama, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat, tanpa keterlibatan dalam politik praktis.


3. UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
Pasal 280 ayat (1) huruf h secara tegas melarang lembaga pendidikan atau pengelolanya menunjukkan keberpihakan politik atau berpartisipasi dalam kampanye.


4. PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan
Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan agama bertujuan membentuk peserta didik menjadi warga negara beriman, berakhlak mulia, dan bermoral tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik.


Sebagian wali santri merasa bingung dan mempertanyakan tujuan acara tersebut. "Kami mengirim anak ke pesantren untuk belajar agama dan memperkuat akhlak, bukan untuk dilibatkan dalam kegiatan politik. Kami berharap pesantren tetap menjaga netralitasnya," ujar salah seorang wali santri.

Namun, ada pula yang memandang positif acara ini sebagai bentuk penghormatan kepada tokoh-tokoh yang peduli terhadap pesantren. "Jika tujuannya hanya untuk menunjukkan apresiasi terhadap mereka yang mendukung pendidikan pesantren, mungkin tidak ada salahnya," kata seorang wali santri lainnya.


Hingga kini, pihak Pondok Pesantren Modern Al-Fatimah belum memberikan tanggapan resmi terkait kontroversi ini. Masyarakat berharap ada penjelasan apakah undangan ini merupakan kebijakan institusi atau inisiatif pribadi pimpinan pesantren.

Pesantren adalah benteng moral dan akhlak generasi muda Indonesia. Keterlibatan dalam politik praktis, bahkan dalam bentuk partisipasi sederhana, berpotensi menciptakan kesalahpahaman di masyarakat dan mengaburkan esensi utama pesantren sebagai pusat pendidikan agama. Oleh karena itu, penting bagi pesantren untuk tetap menjaga marwah dan netralitasnya, serta fokus pada peran utamanya sebagai pembentuk karakter generasi bangsa yang religius dan berintegritas.

Share :