- Oleh : Budi Hartono
PASURUAN — Sistem resmi Online Monitoring Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (OMSPAN) Kementerian Keuangan RI menampilkan data mencolok. Desa Arjosari, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Pasuruan, telah mencairkan 100 persen Dana Desa tahap pertama tahun 2025, senilai Rp704.462.000 dari total pagu Rp1.173.356.000.
Ironisnya, hingga Rabu (13/8/2025), kolom laporan realisasi kegiatan di OMSPAN masih kosong. Dengan kata lain, tak ada satu pun bukti penggunaan dana yang terekam di sistem, meski pencairan sudah dilakukan sejak awal tahun 2025.
Berdasarkan aturan, setiap pencairan dana desa wajib disertai laporan realisasi penggunaan. Hal ini diatur dalam Permendesa PDTT Nomor 8 Tahun 2022 dan Peraturan Bupati Pasuruan Nomor 16 Tahun 2023. Kedua regulasi tersebut menegaskan bahwa progres fisik dan keuangan harus dilaporkan secara berkala melalui sistem resmi pemerintah.
Jika laporan tidak segera diunggah, risikonya bukan sekadar teguran. Mengacu pada Pasal 28 PMK Nomor 128 Tahun 2022, keterlambatan pelaporan bisa berakibat penundaan pencairan tahap berikutnya, bahkan memicu pemeriksaan khusus oleh Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) atau aparat penegak hukum.
Baca juga:
- “Ini bukan sekadar administrasi. Begitu dana negara masuk ke rekening desa, setiap rupiahnya adalah amanah publik yang wajib dikelola secara transparan dan akuntabel,” ujar seorang pegiat transparansi anggaran di Pasuruan.
Hingga berita ini diterbitkan, Kepala Desa Arjosari belum memberikan keterangan resmi terkait alasan kosongnya laporan di OMSPAN. Padahal, bulan Agustus biasanya sudah menjadi masa percepatan penyerapan anggaran sekaligus persiapan laporan tahap kedua.
Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan warga. Tanpa laporan rinci, publik tidak tahu apakah dana ratusan juta rupiah itu sudah digunakan sesuai rencana pembangunan desa, atau justru mengendap tanpa kejelasan.
Kini, sorotan tertuju pada Pemerintah Desa Arjosari. Jika laporan penggunaan dana tak segera muncul, yang dipertaruhkan bukan hanya pencairan tahap berikutnya, tetapi juga kepercayaan warga. Transparansi adalah nyawa pemerintahan desa, ketika nyawa itu berhenti, seluruh kinerja pemerintahan akan ikut lumpuh.
Kasus ini menjadi cermin bagi desa-desa lain bahwa kelalaian administrasi bukan perkara sepele. Dalam tata kelola dana publik, setiap keterlambatan, sekecil apa pun, adalah retakan yang dapat berkembang menjadi krisis akuntabilitas. Publik berhak menuntut keterbukaan, dan pemerintah desa berkewajiban penuh untuk memenuhinya, bukan demi memenuhi regulasi semata, melainkan demi menjaga kehormatan amanah yang telah dipercayakan.