- Oleh : Budi Hartono
Tuban – Proyek pembangunan saluran drainase di Desa Boto, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban, kembali membuka perdebatan klasik tentang kualitas pengerjaan infrastruktur daerah. Di atas kertas, proyek senilai lebih dari setengah miliar rupiah ini tampak rapi, tender resmi, pemenang jelas, serta pagu anggaran yang transparan. Namun, di lapangan, gambaran yang muncul justru memunculkan pertanyaan serius tentang kepatuhan teknis dan tanggung jawab pengawasan.
Proyek ini dilelang oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Perumahan Rakyat, dan Kawasan Permukiman Kabupaten Tuban, dengan pagu dan HPS Rp541 juta. Pemenang tender adalah CV. Aji Yasa, beralamat di Desa Kowang, Semanding, Tuban, dengan nilai negosiasi akhir Rp528,4 juta.
Namun, temuan di lokasi memperlihatkan indikasi kelalaian yang tidak bisa dianggap sepele. Alat berat excavator beroperasi tanpa menggunakan landasan plat baja atau papan kayu, praktik yang berpotensi merusak badan jalan di sekitar galian. Di sisi lain, urukan pasir sebagai bedding pipa terukur kurang sekitar 5 cm dari standar teknis, padahal regulasi mengharuskan lapisan minimal 10 cm di bawah pipa dan 15 cm di sisi kanan-kiri untuk memastikan daya tahan konstruksi.
Baca juga:
Ketidakpatuhan pada standar teknis semacam ini menimbulkan konsekuensi jangka panjang. Drainase yang seharusnya menjadi solusi banjir dapat justru berubah menjadi masalah baru: pipa mudah retak, tanah di sekitarnya tidak stabil, dan umur infrastruktur menyusut drastis. Ironisnya, hal itu terjadi dalam proyek yang dibiayai dari uang rakyat dengan nilai cukup besar.
Lebih jauh, fakta di lapangan juga mengungkap lemahnya aspek keselamatan kerja. Pengendara bermotor dipaksa melintas di dekat galian yang hanya ditandai papan sederhana bertuliskan “Hati-Hati Ada Pekerjaan”. Minimnya pengamanan ini bukan hanya menyalahi etika kerja konstruksi, tetapi juga mengancam keselamatan masyarakat yang melintas.
Pertanyaan pun mengemuka: di mana letak peran pengawasan? Proyek senilai ratusan juta rupiah semestinya mendapatkan pengawalan teknis yang ketat dari pihak dinas. Tanpa pengawasan yang konsisten, kontraktor cenderung menekan biaya teknis, sementara kualitas dan keamanan publik dikorbankan.
Kasus ini seolah menegaskan paradoks pembangunan infrastruktur di daerah: prosedur administrasi tampak tertib di atas kertas, namun di lapangan kualitas kerap terdegradasi. Pada akhirnya, publiklah yang menanggung risikonya, baik dari sisi keamanan maupun keberlanjutan fungsi infrastruktur.