Rabu, 5 Maret 2025 menandai hari ke-5 umat Muslim menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadan 1446 H—sebuah periode yang semestinya menjadi momentum refleksi spiritual dan kebersamaan. Namun, di tengah harapan akan kedamaian, banyak masyarakat justru dihadapkan pada realitas kehidupan yang semakin menantang. Bagi sebagian orang, memperoleh pekerjaan layak terasa bagai mencari setetes embun di padang pasir.
Tekanan ekonomi global yang belum sepenuhnya pulih dari gejolak pasca-pandemi dan ketidakstabilan geopolitik menciptakan dampak berlapis pada sektor ketenagakerjaan. Di Indonesia, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi momok yang menghantui berbagai sektor industri, mulai dari manufaktur hingga teknologi. Pekerja kontrak dan buruh lepas berada di garis depan ketidakpastian, bergulat dengan bayang-bayang masa depan yang tak menentu.
Memasuki hari-hari awal Ramadan, ujian mental dan fisik terasa semakin nyata bagi mereka yang harus berjuang di tengah tekanan hidup. Banyak kepala keluarga berusaha keras menjaga dapur tetap mengepul di tengah kenaikan harga bahan pokok yang terus melambung. Inflasi yang merayap perlahan tapi pasti menekan daya beli masyarakat, meninggalkan dilema antara memenuhi kebutuhan dasar atau menabung untuk hari esok yang tidak menentu.
“Di bulan Ramadan, biasanya ada rezeki lebih dari pekerjaan musiman. Namun, tahun ini terasa berbeda. Proyek sepi, sementara pengeluaran justru meningkat,” keluh Farhan, seorang kuli bangunan di Bojonegoro, Jawa Timur. Baginya, setiap hari adalah pergulatan antara harapan dan kenyataan.
Baca juga:
Namun, ujian tak hanya datang dalam bentuk ekonomi. Keseimbangan antara tuntutan profesional dan spiritual menjadi tantangan tersendiri. Banyak pekerja kantoran yang harus tetap produktif meski tubuh mereka melemah akibat berpuasa. Bagi mereka, komitmen untuk tetap menjalankan ibadah di tengah tuntutan pekerjaan menjadi bentuk pengorbanan yang tidak terlihat tetapi terasa mendalam.
Di balik segala kesulitan, spirit Ramadan mengajarkan tentang kesabaran dan solidaritas. Memasuki hari ke-5 puasa, gerakan berbagi semakin menggema di berbagai penjuru negeri. Komunitas dan organisasi kemanusiaan bergerak aktif membagikan paket sembako dan hidangan berbuka bagi mereka yang membutuhkan. Inisiatif ini bukan sekadar meringankan beban, tetapi juga mengingatkan bahwa di tengah badai kehidupan, masih ada uluran tangan yang siap membantu.
Di antara kompleksitas zaman ini, Ramadan hadir bukan hanya sebagai ritual, tetapi juga ruang refleksi akan makna perjuangan. Mereka yang bertahan di tengah badai membuktikan bahwa harapan tidak pernah benar-benar padam. Dalam sunyi doa dan letih kerja keras, mereka percaya bahwa setelah kesulitan, akan selalu ada kemudahan.
Ketika malam takbir tiba dan cahaya kemenangan menyingsing di ufuk timur, mereka yang berhasil melalui ujian ini bukan hanya menemukan kedamaian spiritual, tetapi juga kebanggaan bahwa di tengah himpitan hidup, mereka tetap tegak berdiri.
Sebagaimana sebuah pepatah lama berkata, “Habis gelap terbitlah terang.” Dan bagi mereka yang berjuang di bulan suci ini, secercah cahaya itu pasti akan datang, cepat atau lambat.
REDAKSI