- Oleh : Budi Hartono
Tuban – Proyek rehabilitasi sungai di Desa Sukorejo, Kecamatan Larangan, Kabupaten Tuban, tengah menjadi sorotan publik. Pekerjaan yang semestinya berorientasi pada penguatan tebing dan perlindungan lingkungan itu justru menimbulkan tanda tanya besar terkait mutu material yang digunakan.
Pantauan di lapangan menunjukkan sejumlah buis beton yang disiapkan untuk proyek tersebut tampak retak-retak bahkan sebelum dipasang. Berdasarkan keterangan warga, material tersebut diduga tidak berasal dari pabrikan bersertifikat, melainkan diproduksi secara manual oleh home industry yang tidak memiliki sertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI).
“Buis beton yang datang banyak yang sudah retak. Dari bentuk dan permukaannya saja sudah kelihatan bukan dari pabrikan resmi,” ujar salah satu warga Sukorejo, Sabtu (25/10/2025).
Kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran serius. Dalam proyek konstruksi publik, penggunaan material bersertifikat SNI bukan sekadar formalitas administratif, melainkan kewajiban hukum untuk menjamin mutu, keamanan, dan daya tahan bangunan.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Permen PUPR) Nomor 09/PRT/M/2019 tentang Pedoman Sistem Manajemen Mutu Konstruksi, setiap penyedia jasa konstruksi wajib menggunakan bahan dan material yang memenuhi SNI atau spesifikasi teknis yang disetujui oleh konsultan perencana dan pengawas.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, Pasal 59 ayat (1), secara tegas menyebutkan bahwa “setiap penyelenggaraan jasa konstruksi wajib memenuhi standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan (K4) sesuai dengan standar nasional Indonesia (SNI)”.
Dengan demikian, penggunaan buis beton non-SNI dalam proyek rehabilitasi sungai tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap standar mutu dan ketentuan teknis konstruksi publik.
Baca juga:
Pakar teknik sipil menilai, kualitas beton yang tidak memenuhi SNI berpotensi menurunkan daya tekan material, mempercepat keretakan, serta mengurangi usia pakai struktur saluran. Dalam konteks proyek rehabilitasi sungai, kondisi ini bisa berdampak langsung pada kegagalan fungsi saluran air, kerusakan tebing, hingga potensi longsor di area permukiman.
“Kalau materialnya saja sudah rusak sebelum dipasang, hasilnya pasti tidak maksimal. Pemerintah harus turun mengecek agar tidak sia-sia,” imbuh warga lain.
Hingga berita ini ditulis, pihak pelaksana proyek maupun dinas teknis terkait belum memberikan tanggapan resmi atas temuan tersebut. Namun, sejumlah warga menilai lemahnya pengawasan menjadi faktor utama yang memungkinkan praktik seperti ini terus terjadi.
“Proyek ini bersumber dari uang rakyat. Pemerintah daerah seharusnya melakukan pengawasan ketat, bukan sekadar formalitas. Kalau dinas jarang ke lapangan, itu sama saja dengan membiarkan penyelewengan,” ujarnya.
Berdasarkan data dari sistem pengadaan barang dan jasa, proyek Rehabilitasi Sungai Desa Sukorejo bersumber dari APBD Kabupaten Tuban Tahun Anggaran 2025 dengan pagu anggaran sebesar Rp964,5 juta. Proyek ini dimenangkan oleh PT. Mukti Berkah Teknik Tuban dengan nilai penawaran Rp946,686 juta, atau hanya turun sekitar Rp17,8 juta (setara 1,8%) dari nilai pagu.
Margin penawaran yang tipis menambah sorotan terhadap efisiensi dan transparansi pelaksanaan proyek, terlebih jika mutu material yang digunakan tidak sesuai standar.
Masyarakat kini mendesak pemerintah daerah dan Dinas PUPR Tuban untuk segera melakukan audit teknis dan pemeriksaan lapangan. Selain memastikan kesesuaian material dengan SNI, langkah tersebut juga penting untuk menegakkan prinsip akuntabilitas dan integritas proyek infrastruktur publik.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, penyedia yang menggunakan material di luar spesifikasi teknis dapat dikenai sanksi administratif, pembatalan kontrak, hingga daftar hitam (blacklist) apabila terbukti lalai atau sengaja melanggar ketentuan mutu.
Jika tidak segera ditindaklanjuti, kasus di Sukorejo bukan hanya mencoreng kredibilitas proyek pembangunan daerah, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik terhadap tata kelola infrastruktur pemerintah.