Penulis: Satrio Imam Panjalu
Pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden Indonesia bagaikan hembusan angin segar bagi masyarakat. Harapan akan ketegasan dan daya jelajahnya dalam memimpin negara ini menguat. Ia diyakini mampu merapikan ketidakteraturan di tubuh pemerintahan serta mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat.
Baru seumur jagung menjabat, Prabowo telah menunjukkan langkah konkret. Ia sigap mengakomodasi jajaran di bawahnya. Program ketahanan pangan melalui perluasan lahan tanam di Papua serta program makan bergizi nasional telah berjalan dengan progres nyata. Penegakan hukum pun kian terasa; sejumlah kasus korupsi yang melibatkan gubernur, bupati, jaksa, kepala desa, direktur perusahaan, hingga pejabat kementerian mulai terungkap ke permukaan.
Sementara itu, respons cepat administrasi Partai Gerindra dan aktivitas Wakil Presiden dalam merespons keluhan masyarakat bahkan terkesan lebih lincah dibandingkan kinerja lembaga legislatif. Sebuah pertanda bahwa dinamika perubahan tengah berlangsung.
Di sisi lain, geliat dunia pers Indonesia di era Prabowo tampak mengulang masa bulan madu seperti yang terjadi pada periode Mochtar Lubis ketika aktif di Dewan Pers tahun 1966–1974. Kala itu, sebagaimana dicatat Christianto Wibisono dalam pengantar bukunya Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya Seri 2, media giat mengawal isu-isu besar seperti korupsi Bulog, mismanajemen Pertamina, hingga distribusi pupuk.
Baca juga:
Kini, di tengah koalisi gemuk yang mengitari kekuasaan Prabowo, pers memiliki peluang menjadi mata hati demokrasi yang waspada. Pers dapat kembali bertaji ( Kuat, Tajam, Berani ) menjadi pengawas setia terhadap kekuasaan atau sebaliknya, justru terbuai dalam kompromi politik.
Harapannya, dengan masih tegaknya Undang-Undang Pers, media tetap teguh menjaga ruang kritis dalam kehidupan berbangsa. Menjadi mitra pemerintah dalam setiap langkah positif, sekaligus menjadi pengingat kala kekuasaan mulai melenceng dari nurani rakyat.
Jangan sampai semangat pers yang kini berani seperti Tempo yang konsisten membongkar praktik-praktik penyimpangan harus berujung pada pembungkaman, seperti peristiwa kelam tahun 1974 ketika Indonesia Raya, Abadi, Pedoman, Nusantara, dan delapan surat kabar lainnya dipaksa tutup dalam tragedi Malari.
Karena itu, Prabowo Subianto perlu menjadikan pers sebagai mitra sejati dalam membangun demokrasi. Membuka ruang bagi suara kritis dan memperkuat nurani dalam tubuh pemerintahan. Sebab, hati nurani yang hidup adalah nafas demokrasi itu sendiri nafas yang membawa Indonesia menuju kemerdekaan sejati, dipandang dari segala sisi.
Agar manisnya madu demokrasi benar-benar dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Ditulis di Kamar Demokrasi, April 2025.