Pasuruan, Jawa Timur — Konflik lahan antara ahli waris almarhum Juma'i dan korporasi PT PIER/SIER kembali memicu gelombang protes hukum. Kali ini, kuasa hukum Fajar (ahli waris utama) mengecam pernyataan aparat kepolisian yang terkesan melabeli kliennya dan dua pendamping warga sebagai “preman.” Label tersebut dinilai tidak hanya menyebarkan opini publik, tetapi juga memuat posisi hukum yang sah secara konstitusional.
Pernyataan tersebut disampaikan setelah pertemuan antara kuasa hukum ahli waris, beberapa perwakilan keluarga, dan badan kepolisian yang diwakili oleh Kasat Reskrim Polres Pasuruan, AKP Khoirul. Dalam pertemuan itu, AKP Khoirul menjelaskan bahwa perkara kepemilikan lahan sebelumnya dimenangkan oleh PT PIER/SIER di Pengadilan Negeri Bangil. Namun putusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya, yang kemudian mengabulkan banding dari pihak ahli waris. Putusan Pengadilan Tinggi tersebut bahkan telah berkekuatan hukum tetap (inkrah).
Putusan yang sudah inkrah secara normatif seharusnya mengakhiri proses peradilan, sesuai ketentuan Pasal 1917 KUH Perdata dan Pasal 24C UUD 1945 yang menyatakan bahwa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap bersifat final dan mengikat. Namun, AKP Khoirul menyebut adanya dua dokumen baru, kasasi dengan Nomor Perkara 2561 dan Peninjauan Kembali (PK) dengan Nomor 555, yang diklaim dimenangkan kembali oleh PT PIER/SIER.
Yunita Panca, SH, kuasa hukum Fajar, menilai hal tersebut bertentangan dengan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, yang mengatur bahwa kasasi hanya dapat dikeluarkan dalam tenggang waktu 14 hari sejak salinan kesimpulan diterima, dan PK hanya dapat dikeluarkan jika ditemukan novum atau terjadi kekhilafan hakim, bukan sebagai upaya hukum setelah inkrah, apalagi dengan jeda waktu hingga dua tahun.
Baca juga:
"Adanya PK dua tahun setelah putusan inkrah, tanpa pemberitahuan resmi kepada pihak ahli waris, adalah pelanggaran terhadap asas audi et alteram partem, hak setiap pihak untuk didengar dalam proses hukum. Ini akan kami tanyakan secara serius ke Mahkamah Agung," tegas Yunita.
Ia juga mengingatkan bahwa tindakan kriminalisasi terhadap warga negara yang memperjuangkan hak atas tanah warisan adalah bentuk penyimpangan terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 36 yang menjamin hak atas kepemilikan.
“Kami tidak akan diam. Langkah hukum lanjutan sedang kami siapkan, termasuk kemungkinan gugatan atas prosedur pelanggaran dugaan dan perbuatan melawan hukum,” tutupnya.
Kasus ini menjadi cerminan buruk dari pertarungan antara rakyat pemilik sah tanah warisan dan korporasi besar, sekaligus membuka kembali luka lama konflik agraria yang kerap disebut ketimpangan akses terhadap keadilan.
REDAKSI