Home Daerah

Krisis Air untuk Pertanian di Bojonegoro: Petani dan Pemerintah Desa Minta Tindakan Nyata

by Media Rajawali - 21 November 2024, 17:25 WIB

BOJONEGORO – Kekeringan yang melanda area persawahan di Kabupaten Bojonegoro, khususnya di Kecamatan Dander, Kapas, dan Bojonegoro, telah memicu kekhawatiran petani. Tanaman padi yang sangat bergantung pada pasokan air cukup kini menghadapi ancaman gagal tanam akibat sulitnya pengairan.

Dari data yang dihimpun, Desa Ngraseh di Kecamatan Dander menjadi salah satu wilayah terdampak parah. Lahan pertanian produktif seluas 10 hektar yang biasanya memasuki masa tanam pada akhir Oktober, hingga November ini masih kering. Petani setempat, seperti Muchlisin, Ali Safi’i, dan Ghozali, mengeluhkan keterbatasan air irigasi yang membuat mereka belum bisa memulai menanam padi sesuai jadwal.

Kepala Desa Ngraseh, M. Maftukhin, yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Kepala Desa (AKD) se-Kecamatan Dander, mengidentifikasi sejumlah faktor yang menjadi penyebab utama berkurangnya debit air di wilayah pertanian. Dalam pertemuan dengan beberapa kepala desa terdampak dan perwakilan DPRD Provinsi Jawa Timur, Sri Wahyuni, telah disepakati empat poin usulan penting untuk diajukan ke Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dan Dinas Pengairan Jawa Timur:

1. Ketidaksesuaian Jadwal Pengelolaan Air oleh Mantri Pengairan.

2. Keberadaan Pabrik Air Cleo di Desa Kunci, yang diduga mengurangi debit air hingga 30%.

Baca juga:

3. Kapasitas waduk yang sempit dan perlunya perluasan untuk memenuhi kebutuhan air pertanian.

4. Tanah aset pemerintah Provinsi Jawa Timur di Dam Cindil, Desa Jatiblimbing, seluas 4 hektar yang seharusnya digunakan untuk penampungan air, namun dikelola sebagai lahan pertanian.

Maftukhin menegaskan pentingnya perhatian serius dari pemerintah. “Kami bersama para kepala desa dan perwakilan petani telah menyampaikan keluhan ini kepada Ibu Sri Wahyuni. Harapan kami, masalah ini segera ditindaklanjuti agar petani bisa kembali menanam sesuai musimnya,” ujarnya.

Salah satu isu yang menjadi sorotan adalah dampak keberadaan Pabrik Air Cleo di Desa Kunci. Aktivitas pabrik ini diduga menyerap sumber daya air secara masif, mengurangi debit air yang seharusnya digunakan untuk pertanian. Ketua HIPPA Desa Ngraseh, Muchlisin, menyatakan bahwa kondisi ini telah merugikan banyak petani. “Kami mendesak pemerintah untuk mengambil langkah tegas terhadap aktivitas pabrik tersebut yang telah mengurangi pasokan air lebih dari 30%,” tegasnya.

Para petani berharap adanya solusi konkret dari pemerintah, terutama terkait dengan pengelolaan irigasi yang lebih adil dan pengendalian aktivitas pabrik air. “Jika situasi ini terus dibiarkan, masa depan pertanian di wilayah kami akan terancam. Petani tidak bisa menanam padi tepat waktu, yang akan berdampak pada hasil panen dan ekonomi mereka,” ungkap Ali Safi’i.

Melalui media, Maftukhin dan para petani terdampak mengajukan permohonan resmi kepada Pemkab Bojonegoro dan Dinas Pengairan Provinsi Jawa Timur untuk segera merespons empat poin usulan yang telah disampaikan. “Kami meminta tindakan nyata agar petani bisa kembali mendapatkan hak atas air untuk lahan pertanian mereka. Krisis ini harus segera diatasi demi keberlanjutan pertanian di wilayah kami,” tutup Maftukhin.

Dibutuhkan langkah kolaboratif antara pemerintah daerah, provinsi, dan para pemangku kepentingan untuk mengatasi persoalan ini. Peninjauan ulang aktivitas industri yang berdampak pada lingkungan, pengelolaan irigasi yang efisien, serta optimalisasi sumber daya air menjadi kunci keberhasilan.

Krisis air di Bojonegoro ini bukan hanya tantangan lokal, tetapi juga menjadi pengingat pentingnya menjaga keseimbangan antara kebutuhan industri dan keberlanjutan sektor pertanian. Sebagai salah satu lumbung padi di Jawa Timur, Bojonegoro harus memastikan bahwa petaninya tetap dapat berproduksi demi mendukung ketahanan pangan nasional. Gotong royong dan keberpihakan pemerintah adalah kunci menyelesaikan persoalan ini.

Share :