BOJONEGORO, 7 Januari 2025 – Polemik terbaru kembali menyeruak dalam penyelenggaraan tata ruang di Kabupaten Bojonegoro. Dua surat yang dikeluarkan oleh Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Penataan Ruang Kabupaten Bojonegoro memunculkan pertanyaan besar terkait konsistensi kebijakan pemerintah daerah terhadap aturan tata ruang. CV Lillahi Samawati Wal Ardhi, sebuah perusahaan yang bergerak dalam jasa pengolahan lahan, menjadi objek utama kontroversi ini.
Surat pertama, yang dikeluarkan pada 31 Agustus 2022, dengan jelas menyebut bahwa lahan di Desa Sumberejo, Kecamatan Trucuk, berada di kawasan permukiman perkotaan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2021. Dalam surat itu, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Penataan Ruang, Retno Wulandari, ST, menyatakan bahwa kawasan tersebut mengizinkan berbagai aktivitas, termasuk perumahan, perkantoran, perdagangan, hingga kegiatan industri kecil dan menengah dengan syarat penyertaan dokumen lingkungan.
Selain itu, surat pertama juga menyebutkan bahwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 1589/SKHK.02.01/XII/2021 tentang Penetapan Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD) di delapan provinsi, lahan yang dimaksud berada dalam kategori LSD. Hal ini berarti, lahan tersebut tidak dapat dialihfungsikan sebelum mendapatkan rekomendasi perubahan penggunaan tanah dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN. Namun, yang menjadi tanda tanya besar adalah mengapa keputusan terkait LSD yang begitu penting dalam surat pertama justru sama sekali tidak disebutkan dalam surat kedua.
Perubahan sikap pemerintah dalam surat kedua memunculkan dugaan adanya tekanan politik atau kepentingan tertentu yang memengaruhi keputusan tersebut. CV Lillahi Samawati Wal Ardhi telah beroperasi berdasarkan panduan tata ruang yang ditetapkan dalam surat pertama. Tidak ada kejelasan mengapa kegiatan usaha yang sebelumnya dianggap sesuai dengan zonasi kini dinyatakan melanggar aturan. Lebih parahnya lagi, aspek perlindungan lahan sawah sebagaimana disebut dalam surat pertama dihapus begitu saja dalam surat kedua, tanpa penjelasan yang memadai.
Dalam rapat dengar pendapat Komisi B DPRD Kabupaten Bojonegoro pada 4 Desember 2024, isu ini menjadi sorotan. Sebagian anggota DPRD mempertanyakan dasar hukum dan prosedur yang digunakan oleh Dinas Bina Marga dalam mengeluarkan surat kedua. Forum Penataan Ruang (FPR) yang digelar pada 16 Desember 2024, serta rapat koordinasi pada 18 Desember 2024, juga tidak memberikan transparansi terkait perubahan ini. Yang lebih disayangkan, pelaku usaha tidak diundang dalam rapat-rapat penting tersebut, sehingga tidak memiliki kesempatan untuk memberikan penjelasan atau pembelaan terhadap tuduhan yang diarahkan.
Baca juga:
Sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Penataan Ruang, Retno Wulandari, ST, berada di bawah sorotan tajam publik. Banyak pihak mempertanyakan konsistensi kebijakan yang diambilnya. "Ini bukan sekadar masalah tata ruang, tetapi masalah kredibilitas birokrasi. Bagaimana mungkin aturan berubah tanpa dasar yang jelas? CV Lillahi Samawati adalah korban dari inkonsistensi ini," ujar salah satu pengamat tata ruang yang enggan disebutkan namanya.
Direktur CV Lillahi Samawati Wal Ardhi menyatakan kekecewaannya terhadap surat kedua. "Kami telah mematuhi semua peraturan yang ditetapkan dalam surat pertama. Tidak ada pelanggaran yang kami lakukan. Tetapi tiba-tiba, aturan berubah tanpa alasan yang jelas, dan keputusan penting soal perlindungan lahan sawah yang dilindungi malah diabaikan begitu saja," katanya.
Perusahaan ini juga menyatakan telah melengkapi dokumen lingkungan sesuai ketentuan, dan tidak ada aktivitas yang bertentangan dengan RTRW sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2021.
Kasus ini memunculkan tuntutan kepada pemerintah daerah untuk membuka seluruh dokumen dan notulensi rapat terkait. Publik berhak mengetahui alasan di balik perubahan sikap Dinas Bina Marga terhadap CV Lillahi Samawati Wal Ardhi.
"Transparansi adalah kunci. Jika pemerintah tidak bisa menjelaskan alasan perubahan ini, maka kepercayaan publik terhadap kebijakan tata ruang akan runtuh," tegas seorang aktivis lingkungan di Bojonegoro.
Sementara itu, saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, Retno Wulandari belum memberikan tanggapan terkait permasalahan ini. Publik Bojonegoro masih menanti jawaban tegas dan adil dari pemerintah daerah. Apakah ada konflik kepentingan di balik keputusan ini? Ataukah hanya sekadar ketidaktahuan terhadap aturan yang berlaku? Semua pihak berharap kasus ini segera menemukan titik terang.
REDAKSI