Oleh: Budi Hartono – Mediarajawali.id
Memasuki awal tahun 2025, masyarakat kembali dihadapkan pada permasalahan klasik: kelangkaan LPG. Tabung gas 3 kg yang dikenal sebagai "gas melon" semakin sulit ditemukan di pasaran. Jika pun tersedia, harganya melonjak drastis, jauh dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Kondisi ini tentu saja memicu keresahan, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang sangat bergantung pada LPG subsidi untuk keperluan memasak.
Kelangkaan LPG bukanlah masalah baru. Setiap tahun, terutama menjelang momen tertentu seperti bulan Ramadan atau akhir tahun, masyarakat selalu dihadapkan dengan isu serupa. Tahun 2025 ini, fenomena tersebut kembali terjadi, dan penyebabnya tampaknya masih berkutat pada permasalahan yang sama: distribusi yang tidak optimal.
Sejumlah agen dan pengecer mengeluhkan keterlambatan pasokan dari depot utama. Beberapa pihak bahkan menuding ada permainan di tingkat distributor yang sengaja menahan stok agar harga di pasar naik. Tak hanya itu, banyak laporan bahwa LPG subsidi justru dikonsumsi oleh kelompok yang tidak berhak, seperti usaha kuliner besar dan industri kecil, yang seharusnya menggunakan LPG nonsubsidi.
Situasi ini seharusnya bisa diantisipasi. Pemerintah telah menerapkan sistem distribusi berbasis digital untuk mengontrol alur penyaluran LPG subsidi. Namun, jika di lapangan masih terjadi penyimpangan, berarti ada celah dalam pengawasan yang harus segera diperbaiki.
Baca juga:
Salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah memperketat pengawasan dengan sistem distribusi tertutup berbasis KTP atau data penerima manfaat yang lebih akurat. Langkah ini sudah sempat diuji coba di beberapa daerah, tetapi belum maksimal karena kurangnya koordinasi antara pemerintah daerah, Pertamina, dan agen distribusi.
Selain itu, penguatan infrastruktur energi alternatif juga perlu dipercepat. Konversi dari LPG ke listrik untuk memasak masih belum berjalan optimal karena keterbatasan daya listrik di banyak rumah tangga. Jika pemerintah serius ingin mengurangi ketergantungan pada LPG, maka program konversi harus didukung dengan subsidi peralatan memasak listrik yang lebih luas.
Di sisi lain, masyarakat juga harus lebih proaktif dalam mengawasi dan melaporkan jika ada indikasi penyalahgunaan LPG subsidi. Banyaknya keluhan di media sosial menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat sudah cukup tinggi, tetapi masih perlu ditindaklanjuti dengan aksi nyata, seperti pelaporan langsung ke dinas terkait atau lembaga pengawas harga.
Jika situasi ini dibiarkan berlarut-larut, dampaknya bisa lebih luas. Kenaikan harga LPG akan berimbas pada harga makanan di warung dan rumah makan kecil, yang akhirnya berkontribusi pada inflasi dan daya beli masyarakat.
Pada akhirnya, kelangkaan LPG ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga semua pihak, termasuk pelaku usaha dan masyarakat sendiri. Jika regulasi diperketat, distribusi diawasi dengan baik, dan penggunaan LPG subsidi tepat sasaran, maka masalah ini seharusnya bisa diminimalkan di masa depan.
REDAKSI