Bojonegoro, Jawa Timur — ' Di balik sunyi malam dan hijaunya persawahan Dusun Dero, Desa Ngemplak, Kecamatan Baureno, tersembunyi sebuah tragedi yang mengguncang nurani. Seorang gadis remaja, sebut saja SJA, 14 tahun, diduga menjadi korban tindak pidana persetubuhan atau pencabulan terhadap anak oleh dua pemuda di sebuah rumah warga yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Peristiwa memilukan ini mencuat ke publik setelah keluarga korban melapor ke Polres Bojonegoro pada 31 Mei 2025.
Kronologi bermula saat korban dijemput oleh salah satu terlapor dan dibawa ke rumah milik R.K. di Dusun Dero pada malam hari. Ibu korban, yang merasa gelisah, mendapat informasi dari kerabat bahwa putrinya tengah bersama seorang pemuda. Saat mencoba menyusul, korban sempat menghindar dan berlari namun akhirnya berhasil diajak pulang.
Keesokan paginya, keluarga melaporkan kejadian tersebut ke pihak berwenang. Laporan resmi dengan nomor registrasi STPL/127/V/2025/SATRESKRIM mencantumkan dua nama sebagai terlapor: A. (20), warga Sambongrejo, dan R.K. alias Kongo (20), warga Dusun Dero, Ngemplak tempat yang juga menjadi lokasi kejadian perkara (TKP).
Selain dua terlapor, dua saksi lain turut disebut dalam laporan, yakni D.A.T.R., warga Mejuwet, dan R.R., warga Ngemplak. Seluruh nama telah disamarkan untuk menghormati proses hukum dan melindungi identitas korban.
Sorotan publik bukan hanya tertuju pada pelaku dan proses hukum, namun juga pada sikap Pemerintah Desa Ngemplak. Kepala Desa, Desi Irawati, yang dimintai konfirmasi oleh media ini melalui pesan WhatsApp, tidak memberikan tanggapan apapun hingga berita ini dipublikasikan.
Padahal, lokasi kejadian berada di tengah wilayah yang menjadi tanggung jawabnya, dan dua nama yang terlibat baik terlapor maupun saksi merupakan warga desa tersebut. Ketika pemimpin desa memilih bungkam di tengah tragedi yang melibatkan warganya, muncul pertanyaan: di manakah peran moral seorang kepala desa?
Baca juga:
Seorang ahli hukum dari Kantor Hukum LAPKN Jombang, Zuhdan Haris Zamzami, ST, SH, menyebut bahwa diamnya pemimpin desa dalam kasus seperti ini merupakan bentuk kelalaian sosial. “Seorang kepala desa adalah penjaga moral wilayahnya. Jika ada dugaan kejahatan serius terjadi di wilayahnya, ia tidak boleh sekadar menunggu ia harus berdiri bersama warganya, terutama pada korban,” tegasnya.
Satuan Reserse Kriminal Polres Bojonegoro kini tengah menangani perkara ini. Proses penyelidikan dan pemeriksaan terhadap para saksi telah dimulai. Pihak keluarga korban berharap keadilan ditegakkan secara transparan dan berpihak kepada kebenaran.
“Saya hanya ingin anak saya diperlakukan adil. Dia masih kecil, masa depannya masih panjang. Jangan biarkan dia menjadi korban dua kali oleh pelaku, dan oleh lingkungan yang diam,” ujar sang ibu korban
Kasus ini bukan hanya soal pelanggaran hukum, tetapi juga cermin dari bagaimana desa memaknai tanggung jawab sosialnya. Dalam masyarakat yang beradab, persetubuhan terhadap anak adalah kejahatan terhadap masa depan. Maka dari itu, diam bukanlah pilihan. Diam adalah kegagalan.
Ketika suara korban nyaris tak terdengar, maka pemimpin yang peduli seharusnya memperdengarkan suaranya. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk menunjukkan bahwa desa masih menjadi tempat yang aman bagi anak-anaknya.
Demi perlindungan terhadap korban dan keberlangsungan proses hukum, semua nama dalam artikel ini telah disamarkan sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalistik dan hukum yang berlaku.
REDAKSI