Mediarajawali.id ' Pada setiap lembar koran yang dibaca, setiap berita yang disaksikan di layar kaca, dan setiap laporan investigatif yang mengungkap kebenaran tersembunyi ada sosok yang kerap ditemukan: jurnalis. Mereka tidak hanya sekedar penyampai informasi, namun pengawal demokrasi yang bekerja di garis depan, menghadapi risiko yang kerap tak sebanding dengan penghargaan yang mereka terima.
Ironisnya, di era pengakuan yang menjunjung tinggi transparansi dan kebebasan pers, para jurnalis masih harus berjuang untuk hal paling mendasar: pengakuan sebagai buruh. Ya, jurnalis juga buruh pekerja yang menjual tenaga, waktu, dan pikiran, sering kali tanpa kontrak kerja yang jelas, tanpa jaminan sosial, dan tanpa perlindungan hukum ketika ancaman datang.
Poster yang tersebar luas pada peringatan Hari Buruh tahun ini, dengan slogan “Kami menulis kebenaran, tapi tak dapat perlindungan” , menyentil hati nurani kita semua. Ia mengingatkan bahwa di balik setiap berita, ada cerita tentang kelelahan, tekanan, intimidasi, bahkan ketakutan. Seorang jurnalis dapat dilukai saat meliput refleksi, dikriminalisasi karena menyuarakan fakta, atau hidup dalam film finansial karena sistem kerja yang eksploitatif.
Baca juga:
Namun, suara mereka nyaris tidak terdengar. Mengapa? Mungkin karena masyarakat terlalu terbiasa mengonsumsi berita, namun jarang memikirkan siapa yang menulisnya. Mungkin karena negara terlalu sibuk membangun narasi, dan lupa siapa yang memeriksa kebenaran narasi itu.
Sudah waktunya publik, media industri, dan negara bersatu mengakui bahwa jurnalis adalah buruh, dan sebagai buruh mereka berhak atas perlindungan, upah layak, dan jaminan keselamatan kerja. Melindungi jurnalis bukan sekadar memberi rasa aman bagi individu, melainkan menjaga denyut nadi demokrasi itu sendiri.
Karena bila suara jurnalis dibungkam, siapa lagi yang akan berbicara untuk kita?
Penulis : Budi Hartono