Bojonegoro – Tahun anggaran 2024 menyisakan catatan kelam di sektor infrastruktur Kabupaten Bojonegoro. Dua isu strategis di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), khususnya bidang Cipta Karya, mencuat ke permukaan dan menggoyahkan kepercayaan publik terhadap tata kelola pemerintahan.
Kini, di bawah kepemimpinan Bupati Setyo Wahono pada tahun 2025, polemik yang terjadi semasa pemerintahan sebelumnya, yakni di era PJ Bupati Andriyanto, menjadikan sebuah pekerjaan rumah yang tak bisa diabaikan. Masyarakat menuntut jawaban, bukan alasan.
Sorotan pertama tertuju pada penganggaran jasa konsultan pemasangan Penerangan Jalan Umum (PJU). Tercatat sebanyak 16 paket proyek konsultasi, masing-masing bernilai Rp 99 juta, yang jika dikalkulasi totalnya mendekati Rp 1,6 miliar.
Namun upaya masyarakat untuk menelusuri detailnya melalui portal resmi Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) menemui jalan buntu. Informasi proyek tidak tampil secara transparan, kecuali dengan pencarian kata kunci yang sangat spesifik, sebuah celah yang membuka kemungkinan pengaburan informasi.
Ketika awak media berupaya meminta kejelasan, sejumlah pihak yang berwenang belum memberikan tanggapan substantif. Tidak adanya penjelasan resmi justru memperkuat dugaan bahwa proses penganggaran ini menyimpan kejanggalan administratif yang serius.
Isu kedua yang tak kalah mencolok adalah dominasi satu perusahaan lokal dalam belasan proyek pengadaan langsung (PL) di lingkungan Cipta Karya. Perusahaan tersebut diketahui mengerjakan sedikitnya 11 paket proyek sepanjang tahun 2024, melalui metode PL.
Baca juga:
Praktik ini patut dipertanyakan. Mengacu pada Peraturan Pemerintah dan batas Sisa Kemampuan Paket (SKP) yang berlaku, umumnya maksimal hanya lima atau enam paket proyek yang boleh dikerjakan satu penyedia dalam satu tahun anggaran.
Sayangnya, ketika ditanya tentang mekanisme seleksi dan verifikasi, sejumlah pejabat terkait justru memberikan jawaban yang saling berkelit. Tidak ada kejelasan apakah prosedur sudah sesuai aturan, atau justru telah terjadi pembiaran sistematis.
Bergesernya tampuk kepemimpinan ke tangan Bupati Setyo Wahono membuka ruang harapan baru. Estafet kekuasaan diharapkan tak sekadar simbol politik, tetapi menjadi langkah nyata untuk membongkar warisan masalah dan menata ulang nilai-nilai akuntabilitas di tubuh pemerintahan daerah.
Publik menanti ketegasan kepala daerah baru untuk mengurai benang kusut proyek-proyek bermasalah, menginstruksikan audit menyeluruh, serta tidak ragu memberikan sanksi kepada pihak yang terbukti melanggar hukum atau etika administrasi.
Tahun 2024 telah berlalu, namun persoalan yang ditinggalkannya belum selesai. Ketiadaan transparansi dan potensi monopoli proyek menjadi dua indikator utama yang menunjukkan bahwa sistem pengadaan di Bojonegoro perlu ditata ulang secara menyeluruh.
Masyarakat Bojonegoro tak lagi menanti janji yang melambung di udara; mereka mendambakan bukti yang nyata, kepemimpinan yang berpijak pada integritas dan kerja yang terukur. Tahun 2025 harus menjadi tonggak lahirnya pemerintahan yang bersih, terbuka, dan bertanggung jawab, demi terwujudnya Bojonegoro yang lebih bahagia, makmur, dan membanggakan di mata rakyatnya sendiri maupun bangsa."
BUDI MR.ID