- Oleh : Budi Hartono
BOJONEGORO – Bagi sebagian orang, gerut, atau dikenal pula dengan sebutan garut, hanyalah sebuah umbi biasa yang nyaris tak bernilai. Tanaman ini bahkan sudah jarang ditemui dalam keseharian masyarakat. Namun, di tangan Ana Nurhayati, warga Desa Ngasem, Kabupaten Bojonegoro, umbi sederhana itu menjelma menjadi produk kuliner khas dengan nilai ekonomi yang tak terduga: emping gerut.
Selama lebih dari 15 tahun, Ana tekun menggeluti bisnis ini. Setiap hari, ia mampu mengolah 20 hingga 30 kilogram bahan baku gerut menjadi emping gurih yang renyah. Dari hasil produksi tersebut, omzet yang diraih pun tidak kecil—berkisar antara Rp15 juta hingga Rp20 juta per bulan. Pada musim tertentu, pendapatan kotor bahkan bisa menembus Rp40 juta.
Namun, perjalanan bisnis itu tidak sepenuhnya mulus. Kendala utama terletak pada ketersediaan bahan baku. Gerut hanya bisa dipanen sekali dalam enam bulan, sehingga manajemen stok menjadi hal krusial agar produksi tidak terhenti. Meski demikian, Ana mampu menyiasati tantangan tersebut. Sisa gerut yang tidak digunakan untuk emping diolah kembali menjadi tepung pati, produk turunan dengan nilai jual tinggi dan beragam manfaat.
Baca juga:
Keunikan emping gerut buatan Ana terletak pada prosesnya yang sepenuhnya manual. Irisan gerut digeprek, kemudian dijemur di bawah terik matahari hingga menghasilkan tekstur renyah yang khas. “Semua masih dikerjakan manual, mulai dari digeprek sampai dijemur. Karena itu rasanya masih sangat otentik dan alami,” ujar Ana.
Pasar emping gerut tidak berhenti di Bojonegoro saja. Produk ini telah menembus sejumlah kota besar seperti Jakarta, Semarang, hingga ke wilayah Nusa Tenggara Barat. Cita rasa yang otentik, dipadu dengan teknik tradisional, menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen yang menginginkan produk lokal berkualitas.
Ke depan, Ana bercita-cita mengembangkan usahanya lebih jauh. Dengan bantuan teknologi tepat guna, ia berharap proses produksi bisa lebih efisien, sekaligus memperluas pasokan bahan baku guna memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat.
Ketekunan Ana Nurhayati membuktikan bahwa potensi besar bisa lahir dari bahan sederhana. Gerut, umbi yang nyaris terlupakan, kini berdiri sebagai komoditas bernilai tinggi, memberikan inspirasi bahwa inovasi dan keteguhan hati adalah kunci utama dalam mengangkat martabat produk lokal.