Bojonegoro — Proyek pembangunan Jalan Usaha Tani (JUT) di RT. 18/07 Dusun Peting, Desa Kalirejo, Kecamatan Ngraho, Kabupaten Bojonegoro, tengah menjadi sorotan setelah ditemukan sejumlah indikasi penyimpangan dalam pelaksanaannya. Berbagai dugaan muncul, mulai dari pengerjaan tanpa pemadatan dasar, amblesnya sejumlah blok beton, hingga ketidaksesuaian antara jumlah blok yang terpasang dengan anggaran yang tercantum dalam papan proyek.
Berdasarkan investigasi lapangan yang dilakukan oleh tim redaksi MediaRajawali.id, diketahui bahwa proyek tersebut memiliki panjang volume 200 meter dengan lebar 2 meter. Pada papan informasi proyek, tertulis bahwa proyek ini didanai dari Dana Desa (DD) dengan total anggaran Rp178.717.983 dan dilaksanakan oleh TPK Desa Kalirejo dalam jangka waktu 30 hari kalender.
Namun, dari pengamatan di lokasi, terdapat sekitar 400 cor blok (BOK) yang telah terpasang, dan setelah dikalkulasi berdasarkan standar biaya umum di lapangan, nilai realisasi fisik proyek ini diperkirakan hanya berkisar Rp78 juta. Dengan demikian, terdapat selisih anggaran hingga Rp100 juta lebih yang perlu dipertanggungjawabkan.
Yang menjadi perhatian, hingga berita ini diturunkan, Kepala Desa Kalirejo, Sujud, tidak merespons permintaan konfirmasi yang telah dikirimkan secara tertulis oleh tim redaksi. Hal yang sama juga terjadi pada Camat Ngraho, Yudhistira Ardhi Nugraha, S.STP, MM, yang tidak memberikan tanggapan meskipun telah dimintai klarifikasi sebagai pejabat pembina teknis pemerintahan desa di tingkat kecamatan.
Sikap bungkam dari dua pejabat publik tersebut menimbulkan pertanyaan serius mengenai transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan desa, yang secara tegas telah diatur dalam sejumlah regulasi.
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 26 ayat (4) huruf c menyebutkan bahwa Kepala Desa berkewajiban menyelenggarakan prinsip tata pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan partisipatif.
Baca juga:
Lebih lanjut, dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Permendes PDTT) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, ditegaskan bahwa setiap penggunaan Dana Desa wajib: " Direncanakan secara partisipatif, Dilaksanakan secara swakelola dan transparan, Dilaporkan secara berkala dan akuntabel.
Sementara itu, dari sisi pengawasan, sesuai Permendagri Nomor 73 Tahun 2020 tentang Pengawasan Pengelolaan Keuangan Desa, camat berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa, termasuk menindaklanjuti laporan masyarakat terhadap dugaan penyimpangan penggunaan Dana Desa.
Menimbang adanya potensi kerugian negara dan dugaan pelanggaran administrasi maupun pidana, publik memiliki dasar kuat untuk mendorong Inspektorat Daerah dan Aparat Penegak Hukum (APH), seperti Kepolisian dan Kejaksaan, untuk segera melakukan audit investigatif dan pemanggilan terhadap para pihak yang bertanggung jawab.
Adapun dalam kerangka hukum pidana, penggunaan anggaran desa yang tidak sesuai peruntukan atau tidak dipertanggungjawabkan secara sah, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Transparansi bukan sekadar retorika administratif, melainkan kewajiban konstitusional. Dalam konteks penggunaan Dana Desa yang bersumber dari uang rakyat, setiap rupiah harus dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka.
Saat keheningan dijadikan pilihan, publik justru berhak untuk curiga. Kini, semua mata tertuju pada Desa Kalirejo dan Kecamatan Ngraho akankah mereka berbicara, atau justru diam menjadi penguat dugaan.
REDAKSI