BOJONEGORO — Dinas Cipta Karya Kabupaten Bojonegoro kembali menjadi sorotan tajam menyusul mencuatnya dugaan praktik jual beli akses terhadap program bantuan rumah layak huni. Seorang narasumber yang merupakan kontraktor lokal sekaligus pimpinan media di salah satu portal berita di Bojonegoro, mengungkapkan bahwa dirinya pernah diminta menyerahkan sejumlah uang oleh seorang pejabat berinisial Z melalui perantara berinisial IM, demi mendapatkan paket pekerjaan bedah rumah pada tahun 2021.
“Informasinya terdengar sangat meyakinkan. Saya diminta menyerahkan uang kepada IM di kantor miliknya, karena ia mengaku telah memegang paket PL bedah rumah yang berlokasi di Desa Kanor. Saya hanya diminta membayar Rp10 juta. Untuk meyakinkan diri, saya mengonfirmasi langsung kepada Z melalui WhatsApp, dan beliau membenarkan bahwa paket tersebut memang ada. Siapa yang tidak tergiur dalam kondisi seperti itu?” ungkap narasumber kepada redaksi.
Namun dua minggu kemudian, saat narasumber kembali menghubungi Z melalui WhatsApp untuk menanyakan tindak lanjutnya, Z justru menyampaikan bahwa paket tersebut tidak ada. Tak lama setelah itu, nomor narasumber diblokir tanpa penjelasan lebih lanjut.
Baca juga:
Kejadian tersebut menunjukkan indikasi kuat adanya praktik transaksional yang menyimpang dalam pelaksanaan program bantuan berbasis anggaran negara. Walaupun dana akhirnya dikembalikan oleh perantara IM, narasi bahwa akses terhadap program publik bisa "dibeli" dari dalam sistem birokrasi menjadi sinyal buruk terhadap kualitas tata kelola pemerintahan.
Redaksi menilai bahwa jika benar pejabat berinisial Z terlibat dalam praktik jual beli paket, maka hal itu mencerminkan penyalahgunaan wewenang serta pelanggaran serius terhadap etika dan integritas jabatan.
Hingga berita ini diterbitkan, pejabat berinisial Z belum memberikan klarifikasi atau tanggapan resmi. Redaksi tetap membuka ruang hak jawab sebagai bentuk komitmen terhadap prinsip keberimbangan dalam pemberitaan.
Dugaan ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi Inspektorat Daerah, APIP, maupun aparat penegak hukum. Praktik birokrasi yang menjual akses program bantuan tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menyakiti rasa keadilan masyarakat berpenghasilan rendah yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama.
BUDI MR.ID