Bojonegoro — Tahun 2025 semestinya menjadi babak baru dalam perbaikan tata kelola pemerintahan di Bojonegoro. Dengan kepemimpinan baru di tangan Bupati Setyo Wahono, masyarakat berharap lahirnya pemerintahan yang bersih, transparan, dan berpihak pada rakyat. Namun, harapan itu kembali diuji ketika Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) justru dipimpin oleh sosok yang rekam jejaknya menimbulkan tanda tanya.
Salah satu keputusan yang mencuatkan kontroversi adalah penunjukan Heri Widodo sebagai Kepala Diskominfo. Ia resmi dilantik pada awal 2025, setelah sebelumnya menjabat sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air (PU SDA). Alih-alih membawa angin segar, mutasi ini justru menimbulkan keheranan publik. Di bawah kepemimpinannya, Dinas PU SDA mencatat skor 64,95 dalam Survei Penilaian Integritas (SPI) KPK tahun 2024, peringkat terendah dari 39 Organisasi Perangkat Daerah (OPD) se-Jawa Timur. Nilai itu menempatkan instansi tersebut dalam zona merah, yakni kategori dengan tingkat risiko korupsi paling tinggi.
Alih-alih menjadi momentum evaluasi, mutasi itu justru dipandang publik sebagai bentuk pemindahan masalah, bukan penyelesaian. Sosok yang membawa reputasi buruk justru dipindahkan ke dinas yang menuntut kredibilitas tinggi di bidang transparansi dan pelayanan informasi. Hal ini memunculkan ironi yang tak bisa dihindari: ketika birokrasi tidak menyelesaikan persoalan, tetapi hanya memindahkannya ke ruang yang lebih tertutup.
Baca juga:
Tahun 2024 sendiri menjadi catatan kelam bagi Diskominfo. Dua pejabatnya dipanggil oleh kepolisian terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dalam belanja iklan media. Selain itu, acara media gathering yang diselenggarakan dinas tersebut juga menuai kritik karena dianggap eksklusif dan diskriminatif hanya mengundang media “terpilih”, dan menyisihkan banyak media lokal independen. Kritik semakin tajam ketika mekanisme distribusi anggaran publikasi dinilai tidak berdasarkan asas objektif, melainkan lebih pada kedekatan dan selera pejabat.
Kini, dengan kepemimpinan baru di Diskominfo, publik berharap akan ada perubahan. Namun harapan itu menjadi samar, ketika kursi kepemimpinan justru diisi oleh pejabat yang belum menyelesaikan catatan integritas di instansi sebelumnya. Sebuah ironi yang mencerminkan betapa beratnya perubahan struktural dilakukan jika sistem masih menoleransi kelonggaran dalam penempatan pejabat.
Reformasi birokrasi tidak bisa lahir dari kompromi terhadap jejak masa lalu. Jika Bojonegoro ingin benar-benar menjadi kabupaten yang bahagia, makmur, dan membanggakan, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah memastikan bahwa institusi-institusi publik dipimpin oleh orang-orang yang bersih, terbuka, dan memiliki legitimasi moral. Jika tidak, maka kita hanya akan menyaksikan reformasi sebagai panggung kosong, dengan wajah-wajah lama yang kembali memainkan peran lamanya, kali ini dengan kostum yang berbeda.
BUDI MR.ID