Home Daerah

Diduga Terjadi Pungutan Liar di Kantor KUA Bojonegoro, Warga Pertanyakan Legalitas Biaya Administrasi

by Media Rajawali - 25 Juni 2025, 22:48 WIB

Bojonegoro, Jawa Timur — Pelayanan publik di lingkungan Kantor Urusan Agama (KUA) wilayah barat Kabupaten Bojonegoro kembali menjadi perhatian setelah muncul laporan warga terkait dugaan pungutan liar (pungli) dalam proses pengurusan dokumen duplikat buku nikah.

Kejadian ini mencuat setelah seorang warga, yang identitasnya sengaja disamarkan untuk alasan keamanan, mengaku diminta membayar uang sebesar Rp100.000 oleh oknum petugas KUA berinisial R saat hendak mengurus pengganti buku nikah milik kerabatnya. Padahal, menurut pengakuannya, seluruh prosedur administratif mulai dari pelaporan ke tingkat desa hingga kepolisian telah ditempuh sesuai jalur resmi.

“Saya sudah mengikuti proses dari bawah. Tapi saat sampai di KUA, tiba-tiba ada permintaan biaya yang tidak dijelaskan dasar hukumnya,” ujar warga tersebut kepada awak media.

Ia juga menyampaikan telah mempertanyakan kebijakan tersebut kepada kepala kantor, namun tidak mendapat jawaban yang meyakinkan. Situasi itu menimbulkan kecurigaan masyarakat akan kemungkinan praktik pungli yang bersembunyi di balik pelayanan administrasi negara.

Baca juga:

Secara normatif, pengurusan duplikat buku nikah merupakan bagian dari layanan negara kepada warga, yang biayanya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Agama. Dalam aturan itu ditegaskan bahwa pungutan hanya diperbolehkan jika memiliki dasar hukum dan disertai bukti resmi pembayaran.

Sementara itu, praktik pungli masuk dalam kategori tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 12 menyatakan bahwa setiap pejabat yang menerima sesuatu yang bukan haknya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat dikenakan sanksi pidana.

“Bukan soal nominalnya. Tapi ketegasan aturan dan keterbukaan yang kami harapkan. Jangan sampai pelayanan yang seharusnya membantu justru memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat,” tegas narasumber tersebut.

Masyarakat pun mendesak agar institusi terkait, mulai dari Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur, Kantor Wilayah Kemenag, hingga aparat penegak hukum (APH), segera melakukan audit dan klarifikasi terhadap laporan ini. Langkah ini penting tidak hanya demi penegakan hukum, tetapi juga untuk menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga pelayanan keagamaan.

REDAKSI 

Share :