Home Nasional

Di Balik Musyawarah, Terselip Tambang Ilegal? Kades Mendenrejo Diduga Tutupi Eksploitasi Galian C

by Media Rajawali - 24 Juni 2025, 19:16 WIB

Blora, 24 Juni 2025 — Sebuah lanskap desa yang tampak damai di Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora, menyimpan ironi mendalam. Di tengah dalih “penataan lahan” yang diklaim telah dimusyawarahkan, dugaan praktik pertambangan ilegal justru menyeruak ke permukaan. Yang lebih mencengangkan, aktivitas tersebut terindikasi berlangsung dengan perlindungan dari otoritas desa itu sendiri.

Investigasi MediaRajawali.id mendapati bukti-bukti kuat mengenai aktivitas pengerukan tanah yang berlangsung secara masif. Kendaraan berat terlihat beroperasi di lokasi. Tanah dikeruk, dikumpulkan, dan disiapkan untuk dijual. Sumber terpercaya dari warga sekitar mengonfirmasi bahwa proses ini bukan sebatas pekerjaan biasa.

Seorang narasumber lokal yang enggan disebutkan namanya membagikan kesaksiannya secara langsung: “Nek ngeruki tetep alat berat. Dilangsir trek engkel, diklumpukno ning nduwur. Nek ono sing tuku, muate manual.” (Pengerukan tetap menggunakan alat berat. Material dilangsir menggunakan truk engkel, lalu dikumpulkan di atas lokasi. Jika ada pembeli, dimuat secara manual.)

Pernyataan ini membongkar fakta bahwa pola kerja di lapangan sudah menyerupai kegiatan pertambangan aktif, lengkap dengan sistem distribusi dan mekanisme jual beli. Ini jauh dari definisi “penataan lahan” yang kerap dijadikan dalih.

Ketika dikonfirmasi melalui WhatsApp, Kepala Desa Supari memberikan jawaban singkat: “Ini bukan tambang atau galian C, tapi penataan lahan atau reklamasi. Kami bukan pemilik tambang. Penataan lahan itu sudah dimusdeskan.”

Namun tak lama setelah memberikan klarifikasi tersebut, Supari memblokir nomor wartawan MediaRajawali.id, menutup pintu komunikasi yang semestinya tetap terbuka dalam semangat transparansi publik.

Baca juga:

Dalih bahwa kegiatan ini telah dimusyawarahkan melalui forum Musdes tidak serta-merta memberi legitimasi hukum. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, penambangan baik skala kecil maupun besar hanya sah apabila dilakukan oleh pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan tunduk pada ketentuan teknis, administratif, dan lingkungan hidup.

Aktivitas tersebut berpotensi melanggar sejumlah regulasi penting yaitu, UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, Pasal 158: “Setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.” PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara: Reklamasi hanya sah dilakukan oleh pemegang izin resmi dan sesuai dengan rencana pascatambang yang disetujui.

Perda Kabupaten Blora No. 6 Tahun 2023 tentang Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan: Setiap pengangkutan dan penjualan material galian wajib dilaporkan serta dikenai pajak daerah. UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 29: Kepala desa dilarang menyalahgunakan wewenang dan melakukan praktik usaha yang menimbulkan konflik kepentingan. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 4 dan 18: Mengatur larangan terhadap segala bentuk penghalangan kegiatan jurnalistik, termasuk tindakan membungkam atau memblokir wartawan.

Kegiatan pengerukan tanah tanpa izin dan tanpa studi lingkungan berisiko menimbulkan degradasi lingkungan serius, termasuk kerusakan kontur tanah, hilangnya vegetasi, dan potensi bencana hidrologis. Tak hanya itu, negara dan daerah pun terancam kehilangan potensi pendapatan dari pajak mineral bukan logam dan batuan, yang seharusnya disetor oleh pelaku tambang resmi.

Menyikapi fakta-fakta ini, MediaRajawali.id menyerukan kepada: Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, Polres Blora dan Satreskrim Unit Tipidter, Kejaksaan Negeri Blora, Inspektorat Daerah Kabupaten Blora, untuk segera menginvestigasi lokasi, menyegel area eksploitasi, dan menindak setiap pihak yang terlibat, termasuk apabila terbukti ada peran kepala desa dalam membiarkan atau bahkan memfasilitasi kegiatan ini.

Ketika pemimpin desa tak lagi menjadi pelindung hak publik, melainkan perisai bagi praktik ilegal, maka yang rusak bukan hanya lingkungan melainkan kepercayaan rakyat. Dan kepercayaan yang rusak tidak dapat diperbaiki dengan klarifikasi seadanya, melainkan dengan tindakan hukum yang tegas dan transparan.

“Kami tidak mengejar sensasi. Kami menuntut kejelasan. Sebab dalam sunyi hukum, suara kebenaran harus lebih nyaring.

REDAKSI 

Share :