BLORA — Di sebuah desa kecil bernama Kentong, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, terdapat kisah yang hingga hari ini masih membekas di benak warganya. Bukan soal banjir, bukan pula karena proyek mangkrak, tetapi tentang sebuah proses seleksi perangkat desa yang meninggalkan banyak tanda tanya.
Peristiwa itu terjadi beberapa tahun silam, ketika pemerintah desa membuka lowongan untuk mengisi posisi perangkat. Antusiasme warga cukup tinggi, banyak yang berharap lahir sosok-sosok baru yang bisa membawa pelayanan publik lebih baik, lebih jujur, dan lebih berpihak kepada masyarakat.
Namun, suasana hangat itu perlahan berubah menjadi kekecewaan. Sebab, salah satu calon yang lolos seleksi ternyata membawa dokumen administratif yang dipertanyakan keabsahannya. Sebuah Surat Keputusan (SK) RT digunakan sebagai bukti pengabdian, padahal menurut sejumlah warga, yang bersangkutan tidak pernah aktif dalam struktur RT yang dimaksud.
Kecurigaan semakin kuat ketika tersiar kabar adanya praktik titipan dan dugaan permintaan uang dalam proses seleksi. Isu mengenai "setoran" hingga puluhan juta rupiah beredar luas di tengah masyarakat. Meskipun sulit dibuktikan secara hukum oleh warga biasa, kisah itu menyebar cepat dan menimbulkan luka sosial yang dalam.
Dalam struktur pemerintahan desa, perangkat bukan hanya jabatan administratif. Mereka adalah pelayan publik paling dekat dengan rakyat. Ketika proses untuk menduduki jabatan itu tidak bersandar pada transparansi, maka yang dikorbankan bukan hanya para peserta yang kalah, tetapi kepercayaan publik secara keseluruhan.
Mereka yang merasa telah berjuang jujur namun kalah, kini memendam kecewa. Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah hilangnya semangat warga untuk mempercayai sistem. Mereka mulai merasa bahwa jabatan tak lagi soal kemampuan, tapi soal "siapa yang dekat dan siapa yang mampu".
Baca juga:
- Sebenarnya, regulasi pengisian perangkat desa sudah sangat jelas:
- Permendagri Nomor 67 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa,
- UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,
- serta Peraturan Bupati Blora sebagai dasar pelaksanaan teknis.
Secara hukum, seleksi perangkat desa tetap sah selama proses administrasi dan tahapan dilaksanakan sesuai aturan. Namun apabila terdapat manipulasi data atau penyalahgunaan kewenangan yang disengaja, maka hal itu bergeser dari ranah administratif ke potensi pelanggaran etika dan integritas publik, yang tak kalah serius dari sisi moral.
Kini, publik mulai bertanya-tanya: apakah pemerintahan desa yang saat ini masih dipimpin oleh figur yang pernah tersandung persoalan tersebut, benar-benar telah berubah?
Apakah akan ada upaya pembenahan total, atau justru celah lama masih dibiarkan terbuka?
Pertanyaan itu bergema di banyak telinga. Sebab warga tak ingin terjebak lagi dalam optimisme semu. Yang mereka inginkan sederhana: kejujuran, pelayanan, dan pemerintahan desa yang berpihak pada rakyat kecil.
Desa Kentong kini berada di titik kritis. Tahun-tahun mendatang bisa menjadi masa pemulihan kepercayaan, atau justru kelanjutan dari masa kelam yang dibungkam. Semuanya bergantung pada niat baik para pemangku kepentingan: apakah mereka belajar dari masa lalu, atau tetap membungkam suara-suara yang peduli.
"Yang menyakitkan bukan karena kami kalah, tapi karena kami tahu prosesnya tak sepenuhnya jujur." ungkap salah satu mantan peserta seleksi, yang hingga kini memilih diam.
Jika keadilan benar-benar ingin ditegakkan di desa, maka yang pertama harus dijaga adalah kejujuran dalam proses pemilihan orang-orang yang akan memimpin dan melayani. Sebab ketika jabatan bisa diatur lewat dokumen dan uang, maka kepercayaan masyarakat adalah korban paling awal, dan paling sulit dipulihkan.
BUDI MR.ID