Bojonegoro – Di tengah upaya membangun kembali kepercayaan publik dan mendorong reformasi birokrasi, Dinas Pekerjaan Umum dan Sumber Daya Air (PU SDA) Kabupaten Bojonegoro justru menorehkan catatan kelam yang menyita perhatian publik di tingkat Jawa Timur. Tahun 2024 menjadi babak penuh luka, sementara tahun 2025, yang seharusnya menjadi awal pemulihan, justru memantik lebih banyak tanya dan kecurigaan.
Memasuki tahun 2024, Dinas Pekerjaan Umum dan Sumber Daya Air (PU SDA) Kabupaten Bojonegoro di bawah kepemimpinan Heri Widodo mencatat reputasi yang memprihatinkan. Reputasi buruk itu dikukuhkan secara resmi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024.
Dalam survei tersebut, Bojonegoro mencatat skor 64,95- yang merupakan peringkat terendah dari 39 Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Jawa Timur. Angka itu secara tegas menempatkan Dinas PU SDA dalam zona merah, kategori dengan tingkat risiko korupsi paling tinggi menurut standar penilaian KPK.
Skor ini tidak hadir dari ruang hampa. KPK mengindikasikan ketidaktertiban dalam pengelolaan anggaran proyek infrastruktur, lemahnya pengawasan teknis, dan minimnya partisipasi serta transparansi publik dalam proses perencanaan hingga pelaksanaan proyek.
Proyek-proyek di bawah kendali Heri disebut sarat kepentingan dan aroma nepotisme. Salah satu yang paling disorot adalah proyek penahan tebing senilai Rp40 miliar yang ambruk tak lama setelah diresmikan. Bukan hanya merusak wajah teknis PU SDA, insiden ini menjadi simbol bobroknya akuntabilitas di tubuh dinas vital tersebut.
Alih-alih dikenai sanksi atau dicopot dari jabatan, Heri justru dimutasi pada awal tahun 2025 dan kini menduduki posisi sebagai Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kabupaten Bojonegoro. Sebuah rotasi yang menimbulkan tanda tanya di tengah publik, mengingat rekam jejaknya belum sepenuhnya dipulihkan. Mutasi yang dianggap publik sebagai bentuk pemindahan masalah, bukan sebuah penyelesaian.
Di tengah luka kepercayaan, masyarakat dibuat bingung, bagaimana seorang pejabat yang meninggalkan skor merah bisa dipercaya memimpin dinas yang seharusnya menjadi garda depan di jantung komunikasi dan informasi publik'? Mungkin birokrasi bisa diatur, tapi nurani rakyat tak pernah bisa ditipu.
Baca juga:
Kursi yang ditinggalkan Heri Widodo kini ditempati Helmy Elisabeth, SP., MM., mantan Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian. Tapi bukan kabar segar yang ia bawa ke PU SDA, melainkan warisan polemik yang belum selesai ditangani.
Dalam orbit kebijakannya, Dinas Pertanian tersangkut penyelidikan Kejaksaan Negeri Bojonegoro terkait program Petani Mandiri (PPM). Helmy sempat diperiksa sebagai saksi atas dugaan penyimpangan dana hibah dari tahun anggaran 2020–2023. Program yang diklaim memperkuat petani kecil itu diduga menyimpan praktik tebang pilih, rekayasa data penerima, hingga dugaan penyalahgunaan dana.
Selain itu, publik juga mencatat kekacauan distribusi pupuk subsidi, antrean panjang pasar murah yang tidak manusiawi, dan irigasi pertanian yang dibiarkan terbengkalai. Alih-alih menjadi penggerak swasembada pangan, dinas di bawah kepemimpinan Helmy justru dianggap menambah penderitaan petani di tengah krisis iklim dan harga pasar.
Kini, figur yang sedang berada dalam bayang-bayang penyelidikan hukum itu justru memimpin sektor strategis, pengelolaan sumber daya air dan infrastruktur teknis Bojonegoro. Sebuah keputusan yang kembali mengguncang logika publik.
Di bawah bendera Bupati Setyo Wahono, Bojonegoro berjanji menjadi kabupaten yang bahagia, makmur, dan membanggakan. Namun bagaimana rakyat bisa merasa bangga bila dua dinas paling strategis, pertanian dan infrastruktur, dipimpin oleh tokoh-tokoh yang belum menyelesaikan beban masa lalunya. Semua karena tumpukan masalah lama yang belum terselesaikan menjadi batu sandungan bagi perubahan yang diharapkan.
Dinas PU SDA kini menjadi cermin suram birokrasi lokal: satu figur meninggalkan skor merah, digantikan figur yang tengah dibayangi penyelidikan. Reformasi yang diharapkan publik justru tampak seperti rotasi kosmetik, pejabat berganti kursi, tapi budaya bobrok tetap utuh. Lebih dari sekadar mutasi, masyarakat menuntut: Audit terbuka terhadap seluruh proyek PU SDA dalam lima tahun terakhir, Laporan publik tahunan kinerja dan pengawasan internal, Serta sanksi tegas terhadap pejabat yang terbukti lalai atau menyalahgunakan jabatan.
Tanpa keberanian untuk membongkar hingga ke akar terdalam, jargon reformasi tak lebih dari ornamen retoris, menutupi tubuh birokrasi yang diam-diam membusuk dari dalam.
Tahun 2025 seharusnya menjadi babak kebangkitan. Namun jika Dinas PU SDA tetap dikelola oleh mereka yang meninggalkan catatan kelam, maka rakyat Bojonegoro akan terus bertanya: apakah kita sedang membangun masa depan, atau justru terus menambal reruntuhan masa lalu '? Semua hanya tinggal tanda tanya semata.
BUDI MR.ID