BOJONEGORO – Anggaran Dana Desa (DD) tahun 2025 senilai Rp170 juta yang dialokasikan untuk pemerataan lapangan di Desa Ngadiluwih, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro, menuai sorotan tajam. Pasalnya, proyek yang disebut-sebut dikerjakan oleh Karang Taruna itu justru menyimpan banyak kejanggalan yang menyeret nama Kepala Desa setempat, Yatmo.
Saat ditemui pada 24 Juni 2025, di kala itu Yatmo mengakui bahwa pekerjaan pemerataan lapangan telah berlangsung selama tiga hari. Ia menyebut bahwa alat berat berupa bego didatangkan dari Tuban, sementara pembayaran material dilakukan langsung dari rekening desa ke toko penyedia di wilayah desa Dukohkidul. Ia juga menambahkan bahwa lapangan akan diratakan menggunakan pedel dan tanah uruk dari galian C. Namun publik justru mempertanyakan proses pengadaan hingga transparansi kegiatan tersebut, sebab sejak awal, tidak pernah ada informasi terbuka yang diumumkan kepada warga. Proyek senilai ratusan juta itu berjalan nyaris diam-diam, seolah dana publik bisa dikelola tanpa partisipasi dan pengawasan rakyat.
Kecurigaan warga tetap mencuat, meskipun lahan yang diratakan itu benar merupakan aset milik desa. Isu jual beli lahan memang sempat berkembang di tengah masyarakat, namun dibantah langsung oleh Kepala Desa Yatmo. Meski begitu, polemik tidak serta-merta mereda, sebab ketiadaan transparansi dalam dokumentasi perencanaan kegiatan hingga minimnya pelibatan warga memicu dugaan bahwa proyek ini dijalankan secara sepihak dan tidak terbuka.
Tak berhenti di situ, rencana penggunaan tanah urug dari galian C juga memicu pertanyaan besar. Sebab, menurut regulasi, Dana Desa tidak bisa digunakan untuk membeli material dari sumber ilegal atau tidak berizin. Jika tanah galian C yang digunakan tidak berasal dari penyedia resmi yang memiliki izin tambang (IUP), maka penggunaannya termasuk pelanggaran terhadap UU Minerba No. 3 Tahun 2020, dan rawan masuk ke ranah pidana.
Baca juga:
Kritik tajam juga tetap muncul meskipun nilai proyek di bawah Rp200 juta memungkinkan pelaksanaan dengan metode swakelola sesuai regulasi. Namun yang dipertanyakan warga bukan sekadar metode pelaksanaan, melainkan minimnya pelibatan masyarakat dalam musyawarah desa dan perencanaan terbuka. “Ini terkesan proyek tertutup, hanya segelintir orang yang tahu detailnya,” ujar seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan. Dugaan pengondisian dan potensi penyalahgunaan wewenang pun mulai mengemuka di tengah masyarakat.
Pertanyaan mendasar kini muncul: Apakah Yatmo sedang membangun untuk desa, atau membangun kepentingan pribadi di atas nama desa?
Publik layak tahu dan berhak mendapat kejelasan, sebab uang rakyat bukan untuk diputar-putar dengan dalih pembangunan yang sarat kepentingan tersembunyi. Jika dalam pertanggungjawaban nanti terbukti ada pelanggaran prosedur atau penggunaan dana untuk membeli tanah uruk dari sumber ilegal, maka penegak hukum tidak boleh tinggal diam.
Sebagai kepala desa, Yatmo tak bisa terus bersembunyi di balik dalih administratif. Ia bukan hanya wajib menjawab di hadapan inspektorat dan aparat hukum, tapi juga harus berani mempertanggungjawabkan setiap kebijakannya di hadapan rakyat yang semakin muak dengan pemimpin yang merasa kebal kritik dan bermain proyek seolah desa ini miliknya sendiri.
BUDI MR.ID