Home Opini

BBM, Sampah, dan Pertaruhan Transparansi di Tuban

by Media Rajawali - 28 Agustus 2025, 15:49 WIB

  • Oleh : Budi Hartono 

Tuban — Pemerintah Kabupaten Tuban, melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Perhubungan (DLHP), baru-baru ini menyampaikan klarifikasi resmi mengenai alokasi anggaran Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk kegiatan operasional persampahan. Anggaran yang dialokasikan tidak kecil mencapai Rp2,37 miliar, sebagaimana tertuang dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP) tahun berjalan.

Surat resmi tersebut memaparkan bahwa dana BBM digunakan tidak semata-mata untuk operasional Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), melainkan juga untuk mendukung seluruh proses pengangkutan sampah dari titik kumpul menuju TPS3R maupun TPA. Lebih jauh, rincian armada diurai dengan terperinci, enam dumptruk, sebelas truk compactor, dua belas armroll, delapan motor roda tiga, hingga sederet alat berat dan kendaraan roda dua.

Namun, di balik paparan administratif yang rapi, terdapat sejumlah titik krusial yang layak dikritisi.

Pertama, transparansi penggunaan anggaran masih samar. Meski jumlah unit kendaraan telah disebutkan, tidak ada rincian konversi anggaran ke dalam volume liter BBM, ataupun distribusi per jenis bahan bakar. Publik tidak bisa mengetahui secara pasti berapa liter solar, dexlite, maupun pertamax yang dibeli. Padahal, transparansi ini sangat penting untuk mengukur kewajaran angka Rp2,37 miliar.

Kedua, efisiensi armada tidak pernah diulas. Surat hanya menyajikan daftar panjang kendaraan, tetapi nihil penjelasan mengenai beban kerja aktual masing-masing unit. Tanpa data tonase sampah per kendaraan, publik sulit menilai apakah belasan truk dan puluhan motor itu bekerja secara efektif, atau justru menimbulkan pemborosan.

Baca juga:

Ketiga, pilihan jenis BBM juga menimbulkan tanda tanya. Minibus serta kendaraan roda dua dan roda tiga ditetapkan menggunakan Pertamax, bahan bakar nonsubsidi dengan harga relatif tinggi. Tidak ada argumentasi teknis yang menjelaskan mengapa Pertalite, yang lebih ekonomis, tidak digunakan, sehingga muncul kesan adanya potensi inefisiensi anggaran.

Keempat, mekanisme pembayaran BBM yang dilakukan dua kali sebulan hanya berdasarkan tagihan SPBU juga menyimpan celah. Tanpa audit konsumsi per kendaraan, potensi pembengkakan biaya akibat penggunaan yang tidak terkendali sulit dihindari.

DLHP dalam tanggapannya memang menegaskan bahwa harga BBM tidak mungkin dimark-up karena ditetapkan pemerintah pusat. Klaim ini benar, tetapi sekaligus menyisakan kekosongan logika. Pemborosan anggaran justru lebih sering terjadi bukan pada harga, melainkan pada volume konsumsi yang tak luput dari kontrol.

Akhirnya, kritik yang paling mendasar ialah absennya data kinerja konkret. Tidak ada satu pun angka yang menjelaskan berapa ton sampah berhasil diangkut setiap bulan, atau bagaimana tren sampah liar setelah pengadaan BBM berjalan. Surat tanggapan itu berhenti pada level prosedural, tanpa berani menyentuh ranah capaian nyata.

Dalam tata kelola pemerintahan modern, transparansi bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan fondasi kepercayaan publik. Tanpa rincian volume BBM, tanpa indikator efisiensi armada, dan tanpa data kinerja yang terukur, alokasi Rp2,37 miliar ini berisiko dipersepsikan sekadar sebagai angka, bukan instrumen pelayanan publik yang akuntabel.

Tuban membutuhkan lebih dari sekadar jawaban formal. Tuban membutuhkan keberanian membuka data riil di lapangan, agar publik dapat menilai bahwa setiap liter BBM yang dibakar benar-benar sebanding dengan sampah yang berhasil diangkut, lingkungan yang lebih bersih, dan pelayanan publik yang lebih layak.

Share :